Gambar 1. Kukang (Nycticebus)

 (Sumber : https://www.kompas.com/sains/read/2022/12/13/100200623/hewan-apa-itu-kukang)

Kukang adalah salah satu spesies primata dari genus Nycticebus yang penyebarannya di Indonesia meliputi pulau Jawa, Sumatera dan Kalimantan (Osman-Hill 1953; Nekaris; Jaffe, 2007). Kukang dikenal juga dengan sebutan pukang, malu-malu atau lori, bersifat aktif di malam hari (nokturnal). Salah satu yang unik dari kebiasaan tidur kukang yaitu posisi dimana mereka akan menggulungkan badan, kepala diletakkan diantara kedua lutut/ekstrimitasnya. Kukang pada umumnya beristirahat pada siang hari di ranting atau batang pohon dan liana. Kukang tidak pernah menggunakan lubang-ubang pohon atau wadah lain untuk istirahat (Winarno & Harianto, 2018).

Kukang memiliki pergerakan yang lambat dan dapat memanjat secara quadrupedal (berjalan dengan empat kaki). Kukang tidak bergantung pada perilaku pertahanan aktif dalam menghadapi predator, namun bergantung pada lokomosi melata (crypsis). Kukang melakukan bridging (membentuk seperti jembatan) antara cabang-cabang pohon dengan sudut yang bervariasi. Hal ini disebabkan karena kukang tidak dapat melompat (Weins dan Zitzmann, 2003).

Populasi kukang di alam saat ini diperkirakan cenderung menurun yang disebabkan oleh perusakan habitat dan penangkapan yang terus berlangsung tanpa memperdulikan umur dan jenis kelamin (Nekaris; Jaffe 2007). Penangkapan kukang yang tidak terkendali terutama untuk diperdagangkan sebagai hewan peliharaan. Kukang tergolong satwa pemakan segala. Seperti halnya dengan primata lainnya pakan utama adalah buah-buahan dan dedaunan. Namun kukang di habitat alami, juga memakan biji-bijian, serangga, telur burung, kadal dan mamalia kecil (Napier; Napier, 1967).

Kukang adalah jenis primata dari sub ordo Strepsirrhini, dengan nama latin Nycticebus yang berarti ‘kera malam’ (Napier; Napier,1985; Navarro; Montes, 2008). Memiliki cara berjalan yang lambat serta ciri khas pada bentuk wajah, 7 garis sepanjang punggung (strip) dan sepasang mata yang besar dan bulat sebagai adaptasi kehidupan malam (nokturnal) (Roos, 2003). Primata kecil ini berukuran antara 259 sampai 380 mm, dengan berat badan mencapai 2 kg. Masa hidup kukang bisa mencapai 20 tahun (Wirdateti; Suparno, 2006). Makanan utamanya jenis serangga, telur burung, serta anakan burung dan buah-buahan. Mereka juga mengkonsumsi beberapa bagian pohon serta nektar (Pambudi, 2008).

Kukang memiliki masa reproduksi yang termasuk lama yaitu masa bunting sekitar 6 bulan dengan setiap kelahiran hanya melahirkan satu anak. Diperkirakan dalam tiga tahun hanya dua kali kelahiran sehingga pertambahan jumlah individu cenderung melambat. (Jurke, dkk., 1997). Pada kukang terdapat organ reproduksi yaitu klitoris. Klitoris pada kukang betina mirip dengan penis pada kukang jantan. Selain itu, terdapat organ reproduksi internal pada kukang betina terdiri atas sepasang sepasang tuba fallopi, serviks, ovarium uterus bicornu, dan vagina. Ovarium pada kukang betina berbentuk oval dan terbungkus bursa ovarium yang dapat menghubungkannya dengan mesosalphink dan mesovatium termasuk yang berukuran kecil yaitu dengan panjang dan lebar pada ovarium kanan 0,44 cm dan 0,33 cm, sedangkan panjang dan lebar ovarium kiri 0,50 dan 0,34 cm. (Rabbani, et al 2018)


 



 Gambar 2. Perbedaan organ kelamin pada Kukang, A. Betina (klitoris)  dan B. Jantan (Penis)


 (Sumber : Phadmacanty, et al., 2018)


 

Gambar 3.  Struktur klitoris dan penis N. coucang 

(Fitch-Snyder & Schulze, 2001)

 

Pada umumnya, habitat kukang  adalah  dihutan bambu, hutan primer maupun hutan sekunder.(Rowe 1996; Wirdateti dan Suparno 1995 ; Pambudi 2008). Akan tetapi, Kukang dapat melakukan adaptasi pada lahan yang terfragmentasi di luar dari habitat hutan primer atau sekunder, bila tersedianya banyak sumber pakan dan tempat berlindung. (Wirdateti, 2012)

Kukang berperan penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem karena berfungsi sebagai kontrol populasi serangga (Nandini, Kakati, Ved, 2009). Gigi kukang yang tajam memiliki racun yang sangat efektif untuk membunuh mangsanya (Swapna, 2008). Sama halnya dengan primata lainnya permasalahan yang dihadapi oleh kukang adalah hilangnya habitat karena tingginya tingkat kerusakan hutan (deforestasi, degradasi dan fragmentasi) termasuk akibat pembalakan hutan dan juga faktor lain yaitu perburuan untuk diperdagangkan sebagai binatang peliharaan, dan pada sebagian masyarakat, kukang juga dijadikan media/bahan untuk kepentingan klenik (Wiens, 2002).

Kukang lebih banyak menghabiskan waktu sendirian, atau dengan kata lain satwa primata ini bersifat soliter atau penyendiri (Wiens, 2002; Wiens; Zitzmann, 2003; Napier; Napier, 1985; Rowe, 1996). Sekitar 93,3±5,4% waktu N. coucang dihabiskan dengan sendirian dengan 6,7% diantaranya berada minimal lebih dari 10 m dari individu lainnya. Perilaku soliter ini tidak berbeda secara signifikan antara jenis kelamin dan juga tidak berbeda pada individu dewasa ataupun pradewasa (Wiens, 2002). Berdasarkan penelitian, N. coucang di kandang, 90% dari waktu aktifnya dihabiskan untuk aktifitas makan (Glassman; Wells, 1984).

Meskipun memiliki wajah yang lucu serta dikenal sebagai hewan yang lambat, gigitan kukang dikenal memiliki gigitan yang berbisa. Hal ini merupakan suatu kemampuan yang jarang ada pada kalangan mammalian, akan tetapi cukup khas pada kelompok primata lorisid. Bisa yang ada pada gigitan kukang tersebut, didapat ketika kukang menjilati sejenis cairan pada kelenjar dan kandungan bisa diaktifkan ketika bercampur dengan ludah. Gigitan berbisa tersebut, dapat berguna untuk membuat jera pemangsanya serta juga berfungsi untuk melindungi bayi kukang dengan cara menyapukan bisa pada rambut tubuh anaknya. Sekresi pada kelenjar lengannya, mengandung zat semacam alergen yang dihasilkan oleh kucing, lalu diperkuat pula dengan komposisi kimiawi yang didapatkan oleh kukang dari makanannya yang ada di alam liar (Winarno & Harianto, 2018).

Kita semua dapat berperan dan boleh jadi bertanggung jawab dalam upaya konservasi kukang untuk menyelamatkan hewan tersebut dari kepunahan. Satu langkah paling mudah adalah tidak menjadikannya hewan peliharaan. Menghentikan keinginan atau obsesi untuk memiliki kukang di rumah dapat sangat membantu memutus mata rantai perburuan dan perdagangan kukang. Di samping itu, langkah-langkah edukasi, penegakan hukum yang tegas, dan konservasi perlu ditingkatkan melalui kerjasama dan sinergi antarpemangku kepentingan, baik pemerintah maupun swasta.

 

Penulis : Nada Salia (KPP Angkatan X) dan Kamila Zahra Raihanna (KPP Angkatan XI).

 

 

DAFTAR PUSTAKA

Fitch-Snyder H. (2001). Management of Lorises in Captivity A Husbandry Manual for Asian Lorisines (Nycticebus & Loris ssp.). Center for Reproduction of Endangered Species (CRES) Zoological Society of San Diego.

Jurke, H. M dkk. (1997). Non-invasive detection and monitoring of estrus, pregnancy and the postpartum period in Pygmy Loris (Nycticebus pygmaeus) using fecal estrogen metabolites (Vol. 41). American Journal of Primatology.

Nandini R, Kakati K, Ved N. (2009). Occurence records of the Bengal slow Loris (Nycticebus bengalensis) in Northeastern India. Am J Primatol 1(2):12-18

Napier JR, Napier PH. (1967). A Handbook of Living Primates. New York: Academic Press.

Napier JR, Napier PH. (1985). The Natural History of The Primates.Cambridge: The MIT Press.

Navarro-Montes A. (2008). Trade in Nycticebus past and present: an assessment of Southeast Asian markets and internet websites. Canopy 7(1):10-12.

Nekaris KAI, Jaffe S. (2007). Unexpected diversity of slow lorises (Nycticebus spp.) within the Javan pet trade: implications for slow loris taxonomy. Zoology 76(3):187-196.

Pambudi JAA. (2008). Studi Populasi, Perilaku, dan Ekologi Kukang Jawa (Nycticebus javanicus E. Geoffroy, 1812) di Hutan Bodogol Taman Nasional Gunung Gede Pangrango Jawa Barat [Tesis]. Jakarta: Universitas Indonesia.

Rabbani, dkk et al. (2018). Pemanfaatan Biodiversitas Tropika untuk Mewujudkan Bio-Based Economy. Yogyakarta : Magnum Pustaka Utama

Roos C. (2003). Molekulare phylogenie der halbaffen, schlankaffen and gibbons. Disertasi. München: Technische Universität München.

Rowe N. (1996). The Pictorial Guide to The Living Primates. New York (US): Pogonian Press.

Swapna N. (2008). Assessing the feeding ecology of the Bengal slow loris (Nycticebus bengalensis) in Trishna Wildlife Sanctuary, Tripura [Tesis]. Bangalore: National Centre for Biological Sciences.

Wiens F. (2002). Behavior dan ecology of wild slow lorises (Nycticebus coucang): social organisation, infant care system dan diet. [Disertasi]. Bayreuth: Bayreuth University.

Wiens F. Zitzmann A. (2003). Social structure of the solitary slow loris Nycticebus coucang (Lorisidae). Journal of Zoology 261:35-46.

Winarno, G. D dan Harianto, S. P. (2018). Perilaku Satwa Liar (Ethology). Lampung : Anugrah Utama Raharja.

Wirdateti, Suparno. (2006). Survey Habitat dan Perdagangan Nycticebus Coucang dan Tarsius di Palembang dan Prabumulih Sumatera Selatan. [Laporan Perjalanan, tidak dipublikasikan]. Bogor: LIPI.

Wirdateti. (2012). Sebaran dan habitat kukang Jawa (Nycticebus javanicus) di area perkebunan sayur Gunung Papandayan, Kabupaten Garut. Berita Biologi 11:111-118.