Gambar 1. Orangutan Sumatra (Pongo abelii)
(Sumber: Fonna et al., 2018)
Orangutan
sebenarnya bukan merupakan satwa asli Indonesia. Orangutan Sumatera (Pongo abelii) merupakan spesies endemik
yang hanya ditemukan di pulau Sumatera, Indonesia. Orangutan Sumatera (Pongo abelii) memiliki rambut berwarna kecoklatan yang panjang dan tebal. Orangutan Sumatera memiliki wajah yang khas dengan
alis yang tebal, hidung lebar,
dan bibir yang besar. Selain itu, memiliki tubuh yang berotot
dan lengan yang lebih panjang daripada tubuh sehingga memungkinkan untuk
berayun dengan mudah di atas pohon-pohon. Pada jantan dewasa memiliki cheek pad dan kantung suara yang kecil,
warna janggut agak kekuningan dan wajah berbentuk berlian. Orangutan betina
berkisar 35-55 kg, sedangkan yang jantan berkisar 85-110 kg.
Orangutan betina diperkirakan pertama melahirkan setelah berumur 14 tahun dan
terakhir melahirkan diperkirakan setelah berumur 43-50 tahun. Jarak kelahiran
pada orangutan berkisar antara 8-10 tahun atau rata-rata 9 tahun. Diperkirakan
selama hidupnya orangutan hanya mampu melahirkan 4-5
kali dan umumnya hanya satu anak setiap melahirkan. Orangutan merupakan satwa
liar diurnal (aktif di siang hari) yang hidup dan mencari makan pada
tajuk pohon (arboreal). Orangutan Sumatera jarang atau mungkin tidak pernah
ditemukan mencari makan di atas permukaan tanah. Makanan utama orangutan adalah buah, daun atau pucuk daun, umbut, kulit kayu.
Pergerakan orangutan dari suatu pohon ke pohon yang lainnya dalam mencari makan
sering dilakukan dengan cara berayun dengan
menggunakan cabang-cabang pohon yang kuat untuk menyangga tubuhnya (Kuswanda, 2017).
Orangutan
Sumatera dianggap sebagai spesies yang terancam punah oleh International
Union For Corservation of Nature (IUCN). Populasi mereka terus berkurang
akibat hilangnya habitat hutan, perburuan, dan perdagangan ilegal. Di Indonesia
perlindungan orangutan memiliki payung hukum tersendiri, diantaranya peraturan Perlindungan Binatang
Liar No. 233/1931, yang diperkuat melalui SK Menhut
tanggal 10 Juni 1991 No.301/Kpts-II/1991, UU No.5 tahun 1990 dan Peraturan
Pemerintah (PP) No.7 tahun 1999. Dan terdapat Peraturan Menteri Kehutanan
No.57/Menhut-II/2008 tentang Strategi dan Rencana Aksi Konservasi (SARK)
orangutan Indonesia 2007-2017 menyatakan bahwa orangutan hasil tangkapan yang
ada di pusat rehabilitasi harus dilepasliarkan untuk meningkatkan populasinya
di alam (Kuswanda, 2017).
Orangutan
Sumatera (Pongo abelii) biasanya
ditemukan di hutan hujan tropis dataran rendah dan pegunungan Sumatera. Namun,
populasi orangutan Sumatera terancam karena hilangnya habitat akibat perambahan
hutan untuk pertanian, perkebunan kelapa sawit, serta perdagangan ilegal. Upaya
konservasi sedang dilakukan untuk melindungi habitat mereka dan menjaga agar
populasi orangutan Sumatera tetap lestari. Berbagai kegiatan manusia yang
menyebabkan luasan habitat orangutan terus berkurang, seperti pembalakan liar
dan perambahan hutan. Oleh karena itu,
perlu dilakukan upaya untuk mempertahankan keberlangsungan hidup orangutan
sumatera (Pongo abelii) (Mardiana et
al., 2020).
Orangutan
merupakan satwa yang memiliki jenis pakan bervariasi. Menurut penelitian yang
dilakukan oleh Rijsen (1978), orangutan
memakan lebih dari 200 jenis tumbuhan yang berada di alam liar. Akan tetapi,
60% jenis pakan yang paling banyak dimakan adalah buah-buahan. Maka dari itu, orangutan disebut sebagai satwa frugivora, yaitu satwa
pemakan buah-buahan.
Orangutan
sumatera (Pongo abelii) memiliki
jenis pakan yang sangat bervariasi, mulai dari tumbuh-tumbuhan hingga serangga
kecil. Orangutan menggemari makanan yang berasal dari tumbuhan, seperti pucuk
daun yang masih muda, bunga, biji-bijian, ataupun buah-buahan. Orangutan
sumatera juga memakan bagian-bagian lain dari tumbuhan, seperti kulit kayu,
kambium, dan getah dari beberapa tumbuhan (Limbong et al., 2022). Selain itu, orangutan sumatera juga gemar memakan serangga kecil, seperti rayap atau vertebrata tanah untuk memenuhi
kebutuhan mineralnya (Nurcholisudin, 2020).
Kehidupan
Orangutan Sumatera (Pongo abelii)
sangat unik, yaitu suka menyendiri dan sangat aktif pada pepohonan yang
berukuran besar sehingga dapat dengan mudah berpindah tempat untuk menuju pohon
yang terdapat buah sebagai makanan orangutan, hal ini karena orangutan Sumatera
memiliki lengan yang panjang dan membantu mereka berayun dengan sangat mahir di antara pohon-pohon hutan hujan. Orangutan
Sumatera (Pongo abelii) dapat menjelajah sejauh 1-2 km/hari dan beraktivitas
pada waktu siang untuk memenuhi kebutuhan orangutan, seperti mencari makan. Orangutan Sumatera (Pongo
abelii) memiliki pola makan yang berbeda-beda sehingga akan berpengaruh
kepada cara hidup orangutan. Maka dari itu, ketersediaan makanan orangutan dan
tempat sarang orang utan yang aman merupakan faktor perubahan tingkah laku
orangutan, seperti pergerakan dan kepadatan populasi sehingga akan
menentukan kelompok sosialnya (Kuswanda, 2014).
Isu-isu terkait dengan orangutan,
termasuk orangutan sumatera, adalah perhatian penting dalam
pelestarian alam dan konservasi satwa liar. Menurut Sofyan (2013), beberapa isu utama yang sering
dibahas dalam konteks ini adalah:
1. Kehilangan habitat: Orangutan sering
kehilangan habitat mereka akibat deforestasi, perambahan hutan, dan konversi
lahan hutan menjadi perkebunan kelapa sawit dan kegiatan manusia lainnya. Hal
ini mengancam kelangsungan hidup mereka.
2. Perdagangan dan perburuan: Orangutan
juga menjadi target perdagangan hewan liar ilegal dan perburuan untuk
diperjualbelikan sebagai hewan peliharaan eksotis atau bagian tubuhnya.
3. Fragmentasi populasi: Hutan yang
terfragmentasi dapat memisahkan populasi orangutan, mengisolasi mereka satu
sama lain. Ini mengurangi keragaman genetik dan meningkatkan risiko kepunahan
lokal.
4. Konflik manusia-orangutan: Konflik
dapat terjadi ketika orangutan memasuki daerah pertanian atau permukiman
manusia dalam mencari makanan. Hal ini dapat mengakibatkan kematian atau cedera
baik bagi manusia maupun orangutan.
5. Konservasi dan perlindungan: Upaya konservasi
dan perlindungan orangutan termasuk pembentukan taman nasional, rehabilitasi
dan pemulihan individu yang terancam, serta pendidikan masyarakat tentang
pentingnya pelestarian spesies ini.
Penulis: Nabilah Nailiyah Isna (KPP Angkatan X), Wulan Putri Dina Lestari (KPP Angkatan X), dan Maharani Safitri (KPP Angkatan XI).
DAFTAR PUSTAKA
Fonna,
I., Sutekad, D., & Iqbar, I. (2018). Aktivitas Harian Orangutan Sumatera
(Pongo abelii) Reintroduksi di Stasiun Reintroduksi Orangutan Jantho, Kabupaten
Aceh Besar. In Prosiding Seminar Nasional Biotik (Vol. 3, No. 1).
Kuswanda,
W. (2014). Orangutan Batang Toru: Kritis
Diambang Punah. Bogor:
FORDA Press.
Kuswanda, W.
(2017). Kriteria dan Indikator Penilaian Cepat Kesesuaian Lokasi
Pelepasliaran Orangutan Sumatera (Pongo abelii Lesson): Taman Nasional
Bukit Tigapuluh. Policy Brief, Vol 11,
No.05, 2017.
Limbong,
B., Yanti, L. A, & Moulana, R. (2022). Perilaku Makan dan
Preferensi Pohon Buah sebagai Pakan Orangutan Sumatera (Pongo abelii) di Stasiun
Penelitian Ketambe Taman Nasional Gunung Leuser. Jurnal Ilmiah Mahasiswa Pertanian, 7(4), 1084-1089.
Mardiana,
M., Rahmi, E., & Andini, R. (2020). Karakteristik Sarang Orangutan Sumatera
(Pongo abelii Lesson 1827) di Stasiun Penelitian Soraya, Kawasan Ekosistem
Leuser. Jurnal Ilmiah Mahasiswa Pertanian, 5(3), 50-59.
Nurcholisudin,
T. (2020). Jenis Pohon Pakan Orangutan Sumatera (Pongo Abelii Lesson, 1827)
Berdasarkan Ketinggian Tempat di Stasiun Penelitian Ketambe Sebagai Referensi
Matakuliah Ekologi Hewan (Doctoral dissertation, UIN Ar-Raniry).
Rijsen,
H. D. (1978). A Field Study On Orangutans
(Pongo abelii Lesson 1827) Ecology, Behavior, and Conservation. Modelingen.
Sofyan,
H., Pudyatmoko, S., & Imron, M. A. (2013). Perilaku dan Jelajah Harian
Orangutan Sumatera (Pongo abelli Lesson, 1827) Rehabilitan di Kawasan Cagar
Alam Hutan Pinus Jantho, Aceh Besar. Jurnal Ilmu Kehutanan, 7(1), 1-11.
0 Comments
Posting Komentar