Gambar 1. Bekantan (Nasalis larvatus)
(Sumber: Massa et al., 2020)

Bekantan (Nasalis larvatus) atau Proboscis monkey merupakan spesies endemik yang mendiami hutan bakau (mangrove) di pulau Kalimantan (Indonesia, Malaysia, dan Brunei). Bekantan adalah salah satu hewan yang sangat terkenal dan kerap kali dijadikan sebagai maskot kebanggaan. Di Kalimantan, Bekantan dikenal juga dengan nama Kera Belanda, Pika, Bahara Bentangan, Raseng dan Kahau (Supriatna & Wahyono, 2000). Berdasarkan filogenetiknya, Bekantan termasuk ke dalam famili: Cercopithecidae; genus: Nasalis; spesies: Nasalis larvatus. Saat ini, terdapat dua subspesies Nasalis larvatus, yaitu: Nasalis larvatus larvatus dan Nasalis larvatus orientalis.
 
Bekantan (Nasalis larvatus) adalah salah satu primata endemik Borneo. Bekantan dilindungi baik secara nasional maupun internasional. Secara nasional dilindungi berdasarkan Peraturan Pemerintah nomor 7 tahun 1999 (Pemerintah RI 1999), sedangkan secara internasional Bekantan termasuk dalam Appendix I CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora), dan sejak tahun 2000 masuk dalam kategori endangered species berdasarkan Red List IUCN (International Union for Conservation of Nature and Natural Resources) (Meijaard & Nijman, 2000).
 
Bekantan (Nasalis larvatus) dicirikan oleh bentuk hidungnya yang unik sehingga mudah dikenal di antara primata lainnya, yakni memiliki hidung yang panjang dan besar yang hanya dimiliki oleh individu jantan. Hidung besar pada bekantan jantan ini kemungkinan disebabkan oleh seleksi alam, dimana fungsinya masih belum jelas, namun bekantan betina lebih memilih jantan yang memiliki hidung besar sebagai pasangannya. Selain itu juga, bekantan memiliki wajah yang terlihat bersemu merah dan tidak ditumbuhi oleh rambut. Warna rambut pada tubuhnya bervariasi, bagian punggung berwarna cokelat kemerahan, sedangkan bagian ventral dan anggota tubuhnya berwarna putih keabuan. Panjang ekor bekantan hampir sama dengan panjang tubuhnya, yaitu sekitar 559-762 mm. Ukuran hidung pada jantan dewasa lebih besar dari betina, demikian pula ukuran tubuhnya. Berat tubuh bekantan jantan sekitar 16-22,5 kg, sementara betina berat tubuhnya sekitar 7-11 kg (Supriatna & Wahyono, 2000).
 
Hidung yang panjang pada individu jantan ini menjadi ciri paling mencolok dari bekantan. Hidung ini memberikan kelebihan dalam hal komunikasi dan penyebaran suara. Disebutkan dalam penelitian oleh Davis et al. (2015), hidung panjang bekantan dapat memperkuat suara panggilan mereka hingga jarak yang lebih jauh daripada primata lain. Kemampuan ini memungkinkan bekantan untuk berkomunikasi dengan anggota kelompok mereka di hutan yang luas. Menurut studi yang dilakukan oleh Abdullah et al. (2018), hidung bekantan ini juga memiliki peran penting dalam regulasi suhu tubuh dan sebagai resonator yang digunakan dalam komunikasi vokal. Hal ini membuat hidung bekantan menjadi sangat penting bagi kelangsungan hidup dan reproduksinya.
 
Selain hidung, perut buncit bekantan juga menjadi karakteristik fisik uniknya. Perut buncit ini terutama terlihat pada jantan dan merupakan akumulasi dari saluran pencernaannya yang panjang. Permukaan perut buncit ini berfungsi sebagai resonator yang memperkuat suara yang dihasilkan oleh bekantan saat berteriak. Penelitian oleh Zitnanova et al. (2004), menunjukkan bahwa perut buncit menjadi penanda bagi betina saat memilih pasangan jantan, sebagai tanda kekuatan dan kesesuaian genetik.
 
Bekantan terkenal dengan tingkah laku migrasinya yang unik. Mereka dapat bertahan hidup di berbagai tipe hutan, termasuk hutan rawa, hutan dataran rendah, dan bahkan di sepanjang pantai. Namun, bekantan memiliki kecenderungan untuk berpindah-pindah tempat tinggal dan makan, mengikuti musim berbunga pohon mangrove dan tanaman liar lainnya.
 
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Sankaran et al. (2016), pola migrasi bekantan sangat tergantung pada ketersediaan sumber makanan. Migrasi ini melibatkan pergerakan jarak jauh antara tempat-tempat yang berjarak beberapa kilometer dan merupakan perilaku yang jarang ditemukan pada primata lain.
 
Bekantan adalah hewan herbivora, yang berarti makanan utamanya terdiri dari dedaunan, buah-buahan, dan biji-bijian. Salah satu sumber terpercaya mengenai pakan bekantan dapat ditemukan dalam jurnal ilmiah berjudul "Dietary Composition of Proboscis Monkeys (Nasalis Larvatus) in Samboja Lestari, East Kalimantan, Indonesia" yang ditulis oleh Ikhsan Kusnadi dan timnya pada tahun 2019.
 
Menurut penelitian tersebut, pakan utama bekantan terdiri dari hampir 70% daun serta 30% buah-buahan dan biji-bijian. Mereka juga merupakan hewan pemakan selektif, yang berarti mereka cenderung memilih makanan dengan kualitas gizi yang baik, seperti daun muda, buah segar, dan biji matang. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa bekantan cenderung memperoleh nutrisi penting seperti serat, protein, dan energi dari pakan mereka.
 
Namun, satu hal yang menarik adalah bekantan juga dikenal sebagai konsumen utama tumbuhan beracun, seperti pohon beracun yang mengandung tannin tinggi. Meskipun tannin beracun bagi sebagian besar hewan, bekantan memiliki enzim di dalam lambungnya yang membantu menguraikannya tanpa efek berbahaya (Nowak, 1999). Selain itu, bekantan juga mengkonsumsi invertebrata seperti serangga dan cacing yang terdapat pada daun-daunan. Hal ini didukung oleh penelitian Kinnaird & O'Brien (2008), yang menemukan bahwa bekantan terkadang juga memakan serangga yang terdapat pada tumbuhan.
 
Bekantan merupakan primata yang hidup dalam kelompok sosial yang tidak biasa. Kelompok ini terdiri dari satu jantan dewasa, beberapa betina, dan anak-anak. Bekantan hidup secara sosial dalam kelompok-kelompok yang berjumlah sekitar 10 hingga 32 individu. Dalam kelompok ini, terdapat satu jantan dominan yang bertanggung jawab atas reproduksi (Malaivijitnond, 2013). Yang menarik adalah kelompok tersebut dipimpin oleh betina yang memiliki status sosial yang tinggi. Sang betina pemimpin bertanggung jawab dalam pengambilan keputusan kelompok, termasuk memilih lokasi makan, tempat beristirahat, dan melindungi anggota kelompok dari ancaman luar (Zingg et al., 2017).
 
Bekantan menghabiskan sekitar 40% hingga 50% waktu harian mereka untuk beristirahat. Mereka biasanya menghabiskan waktu ini dengan duduk di cabang-cabang pohon yang kuat. Aktivitas beristirahat juga berguna bagi mereka untuk mencari perlindungan dari predator, seperti harimau atau burung pemangsa (Charles & Habib, 2008).
 
Bekantan juga memiliki peran penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem hutan hujan Borneo. Sebagai hewan herbivora, mereka memakan buah, daun, dan pucuk tumbuhan. Dalam proses mencari makan, mereka membantu menyebarkan biji-bijian yang berperan dalam regenerasi hutan dan menjaga keragaman flora. Kebiasaan unik lainnya dari bekantan adalah pemakaian kembali biji-bijian yang mereka konsumsi dalam tinja. Bentley et al. (2015), mencatat bahwa bekantan memainkan peran penting dalam proses dispersi benih. Biji-bijian yang melewati sistem pencernaan mereka, kemudian dikeluarkan dalam tinja yang tersebar di lingkungan sekitar. Hal ini membantu dalam regenerasi hutan dan pertumbuhan spesies tumbuhan lain. Menurut penelitian oleh Maryanto et al. (2020), aktivitas bekantan seperti merumuskan biji-bijian dan mencampakkannya di tempat yang berbeda secara tidak disengaja sangat berperan dalam distribusi dan penyebaran tumbuhan di hutan hujan Borneo.
 
Dalam upaya untuk melindungi bekantan, program pemuliaan silang antara bekantan dari populasi yang berbeda telah dilakukan di beberapa tempat konservasi. Pemuliaan silang dapat membantu mempertahankan kelangsungan hidup bekantan dengan mendiversifikasi genetik dan mengurangi risiko kemandulan pada individu-individu tertentu. Pentingnya pemuliaan silang dalam rangka keberlanjutan bekantan telah didokumentasikan dalam jurnal oleh Payne et al. (2019). Karena habitat Bekantan semakin berkurang, populasi bekantan yang terisolasi di berbagai wilayah pulau Borneo saling berkembang biak dengan sangat terbatas. Hal ini dapat mengakibatkan hilangnya keragaman genetik yang diperlukan untuk kelangsungan spesies ini di masa depan.
 
Sayangnya, bekantan menghadapi berbagai ancaman terhadap kelangsungan hidupnya. Hilangnya habitat akibat pembalakan liar, konversi lahan untuk perkebunan, dan penangkapan liar menjadi faktor utama dalam penurunan populasi bekantan. Bekantan juga termasuk dalam kelompok spesies yang dilindungi berdasarkan Undang-Undang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya di Indonesia.
 
Organisasi konservasi, seperti Borneo Orangutan Survival Foundation, telah melakukan upaya yang signifikan untuk melindungi bekantan dan habitatnya. Melalui penelitian ilmiah yang mendalam dan pendidikan kepada masyarakat sekitar, diharapkan kesadaran dan penghargaan terhadap keberadaan bekantan dapat meningkat. Melalui upaya konservasi yang berkelanjutan dan edukasi masyarakat, diharapkan Bekantan dapat tetap bertahan dan terus dikagumi oleh dunia. Membangun taman-taman konservasi dan mendukung pelestarian habitat alami bekantan adalah langkah penting yang dapat dilakukan untuk melindungi spesies yang langka dan luar biasa ini.

Kami sangat menyarankan agar kita mulai mempelajari lebih banyak tentang bekantan dan spesies unik lainnya di Indonesia, serta mendukung upaya konservasi yang dilakukan oleh lembaga-lembaga terpercaya. Misalnya, upaya pemulihan habitat yang rusak dapat dilakukan dengan menanam tumbuhan pakan yang kaya nutrisi untuk bekantan. Selain itu, perlindungan terhadap hutan-hutan yang menjadi habitat alami bekantan perlu ditingkatkan untuk mencegah pemburuan dan pendegradasian habitat lebih lanjut.

Penulis: Lisana Sidkin Aliya (Angkatan IX), Keisya Khoerunnisa (Angkatan X), dan Putri Narulita Dewi (Angkatan X).

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, N., Krishnasamy, K., & Abidin, M. S. Z. (2018). Ecological Importance of Proboscis Monkey's Nasal Structure: Resonance. International Journal of Engineering & Technology, 7(29), 176-179.

Bentley, J., Jayasena, N., & Keller, L. (2015). The Conservation Value of Disturbed Tropical Peat Swamps for Herbaceous Plant Species. Plant Ecology & Diversity, 9(3), 257-269.

Charles, A., & Habib, A. (2008). Proboscis Monkey (Nasalis larvatus) Forest: Species Management and Conservation. Borneo Nature Foundation.

Davis, D. D., Dellinger, J. A., & Sheldon, K. S. (2015). A Comparison of Density Estimation Techniques for The Vulnerable Proboscis Monkey (Nasalis larvatus). Animal Conservation, 18(6), 543-552.

Kinnaird, M. F., & O'Brien, T. G. (2008). The Ecology of a Primate "Super Predator" in Indonesian Borneo. American Journal of Primatology, 70(5), 393-403.

Kusnadi, I., et al. (2019). Dietary Composition of Proboscis Monkeys (Nasalis larvatus) in Samboja Lestari, East Kalimantan, Indonesia. Biodiversitas Journal of Biological Diversity, 20(2), 520-526.

Malaivijitnond, S. (2013). The Socioecology of The Proboscis Monkey (Nasalis larvatus) in The Mangrove Forest. International Journal of Primatology, 34(2), 317-336.

Maryanto, I., et al. (2020). Dispersal of Canopy Tree Seeds by Proboscis Monkeys (Nasalis larvatus) in Bornean Forests: Preliminary Observation from Wehea, East-Kutai, East Kalimantan. The Biodiversity Observation Network in Southeast Asia (BONSEA): Scholar-One Manuscripts, 7(4), 970-976.

Massa, Y. N., et al. (2020). Bekantan dan Habitatnya di Sungai Hitam. Balikpapan: BPTKSDA.

Meijaard, E., & Nijman, V. (2000). Distribution and conservation of the proboscis monkey (Nasalis larvatus) in Kalimantan, Indonesia. Biological conservation92(1), 15-24.

Nowak, R. M. (1999). Walker's Mammals of The Orld Sixth Edition. Baltimore: JHU Press.

Payne, J., et al. (2019). Hybridization in a Bornean Primate: The Genetic Counterpart of Extinction. International Journal of Primatology, 40(2), 234-253.

Sankaran, S., Nor, S. M., & Abdullah, M. T. (2016). Proboscis Monkey (Nasalis larvatus) Suicidal Diving Behaviour during Migration in Sarawak. Journal of Tropical Biology and Conservation, 13, 93-99.

Supriatna, J.,  & Wahyono, E. H. (2000). Panduan Lapangan Primata Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Zingg, P. E., et al. (2017). Female Mate Choice Drives The Evolution of Male-biased Dispersal in Orangutans. PLoS Biology, 15(5), 15-41.

Zitnanova, I., Waitt, C., & Gursky, S. (2004). Using Animal Signals for Species Recognition: The Use of Alarm Calls During Predator Inspection in the Arboreal Primate, The Pig-tailed Langur. Animal Behaviour, 67(3), 513-519.