Gambar 1. Orangutan Kalimantan

(Sumber: Rodgers, 2019) 

Orangutan merupakan kera besar yang hanya ditemukan di Benua Asia dengan sifat arboreal dan semi soliter. Persebaran orangutan hanya dapat ditemukan di Pulau Kalimantan dan Sumatera. Secara taksonomi orangutan dibagi menjadi 3 spesies yaitu orangutan sumatera (Pongo abelii L.), orangutan kalimantan (Pongo pygmaeus) dan orangutan tapanuli (Pongo tapanuliensis) (Sianipar, 2020).

Berdasarkan International Union for Conservation of Nature (2017) selama 75 tahun terakhir populasi orangutan telah mengalami penurunan sebanyak 80%, oleh IUCN status konservasi orangutan dikategorikan sebagai “kritis”. Status terancam punah tersebut membuat orangutan dilindungi, baik secara nasional maupun internasional. Salah satu penyebab menurunnya populasi orangutan karena adanya pembukaan lahan secara besar-besaran sehingga menyebabkan terjadinya fragmentasi.

Peran Penting Orangutan Dalam Ekosistem hutan Tropis Sebagai Spesies Payung

Orangutan liar cenderung menyukai habitat hutan hujan tropis dataran rendah kering dan rawa dibandingkan hutan dataran tinggi. Orangutan termasuk dalam spesies payung (umbrella species) untuk konservasi hutan hujan tropis (Setiawan, 2018). Spesies payung adalah spesies yang memiliki daerah jelajah yang sangat luas sehingga jika habitat dan spesies ini terlindungi dengan baik maka makhluk hidup lain yang ada didalamnya akan terlindungi juga. Selain itu, peranan orangutan juga sangat penting di alam, yaitu sebagai satwa penyebar biji terbaik.  Saat orangutan melakukan aktivitas makan, buah, dan biji yang dibuang ke lantai hutan secara tidak sengaja, sisa-sisa makannya itu nantinya dapat tumbuh menjadi individu pohon baru (Fajria, 2015)

Ancaman Terbaru Dari Ekspansi Perkebunan Sawit

Pembukaan perkebunan kelapa sawit mengancam keberadaan satwa maupun tanaman penghuni hutan. Ekspansi kebun sawit semakin merambah ke habitat spesies yang terancam punah. Pembukaan demi pembukaan lahan kian menghancurkan hutan, menghilangkan keanekaragaman hayati secara langsung. Fragmentasi hutan yang terus berjalan secara meluas menjadi ancaman serius untuk konservasi orangutan. Oleh sebab itu, habitat orangutan semakin berkurang sehingga mengakibatkan menurunnya jumlah populasi orangutan (Rifai et al., 2015).

Dampak Pembukaan Lahan terhadap Habitat Orangutan

Kerusakan  kawasan  hutan  telah  menurunkan  habitat orangutan  sebesar  1-1,5%  di  Sumatera  dan  1,5-2%  di  Kalimantan  per  tahunnya. Seringkali kawasan habitat orangutan dipecah dan dipisahkan oleh perkebunan kelapa  sawit  baik  yang  dibuka  secara  legal  maupun  ilegal.  Penyusutan  habitat ini  menyebabkan  orangutan  terfragmentasi  kedalam  beberapa  kantung-kantung habitat. Setiap kantung-kantung habitat ini akan mengalami kepadatan populasi dan pertumbuhan ekosistem yang tidak seimbang (Made, 2019).

Peran Industri Sawit dalam Perusakan Habitat Orangutan

Gambar 2. Orangutan Kalimantan

(Sumber: Ayache, 2022)

Perluasan perkebunan sawit yang kerap dilakukan dengan menebang hutan primer telah menghancurkan habitat alami orangutan di Kalimantan dan Sumatera. Hutan yang dulunya menjadi tempat berlindung, mencari makan, dan berkembang biak bagi ribuan orangutan kini berubah menjadi bentangan monokultur yang tandus dan asing bagi satwa liar. Akibatnya, konflik antara manusia dan orangutan pun semakin meningkat dengan banyak kasus penangkapan, pembunuhan, atau pemindahan paksa orangutan. Ketika nilai komersial lebih diutamakan daripada keseimbangan ekologi, maka yang terancam bukan hanya spesies orangutan tetapi warisan alam juga yang seharusnya dijaga untuk generasi mendatang.

Analisis UU Kehutanan dan UU Perlindungan Satwa Liar di Indonesia.

Undang-Undang Kehutanan (UU No. 41 Tahun 1999) dan Undang-Undang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (UU No. 5 Tahun 1990) merupakan dua instrumen hukum utama di Indonesia yang berkaitan langsung dengan perlindungan hutan dan satwa liar, termasuk orangutan. Selain itu, Undang-Undang No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (UU P3H) juga menjadi peraturan yang penting dan melengkapi undang-undang yang ada (Leslie & Rahayu, 2023).

Program rehabilitasi dan pelepasliaran orangutan

Upaya reintroduksi orangutan dalam skala besar telah dilaksanakan secara konsisten oleh BOS Foundation melalui PT Restorasi Habitat Orangutan Indonesia (RHOI) di Hutan Kehje Sewen sejak tahun 2012, yang kini menjadi habitat baru bagi lebih dari 130 individu orangutan hasil rehabilitasi. Selain itu, kolaborasi strategis antara International Animal Rescue (IAR) Indonesia dan Taman Nasional Bukit Baka Bukit Raya (TNBBBR) pada tahun 2019 juga mencatat keberhasilan pelepasliaran enam individu orangutan, yang dipantau secara intensif dengan metode pencatatan perilaku setiap dua menit selama 1 hingga 2 tahun untuk mengevaluasi kemampuan adaptasi mereka di alam liar (IAR Indonesia & KSDAE, 2019).

Reforestasi dan pembentukan koridor habitat

Reforestasi dan pembentukan koridor habitat merupakan strategi kunci dalam konservasi orangutan karena mampu memulihkan ekosistem yang telah rusak sekaligus menghubungkan fragmen-fragmen hutan yang terisolasi akibat deforestasi, konversi lahan, serta pembangunan infrastruktur. Kedua upaya ini sangat penting untuk menjaga keberlangsungan hidup orangutan, terutama dalam konteks pergerakan, pencarian makanan, dan mempertahankan keragaman genetik antar populasi.

Contoh keberhasilan kolaborasi berbasis komunitas

Di tengah meningkatnya tekanan terhadap habitat orangutan akibat pembukaan lahan, muncul kisah inspiratif dari Kalimantan yang menunjukkan bahwa kolaborasi antara komunitas lokal dan lembaga konservasi bisa menjadi solusi nyata. Salah satu contohnya terjadi di sekitar kawasan Taman Nasional Tanjung Puting yang melibatkan warga desa dalam pelatihan teknik pertanian tanpa bakar, rehabilitasi lahan rusak, hingga patroli hutan. Kolaborasi ini membuktikan bahwa pembangunan dan konservasi tidak harus berjalan berseberangan dengan pendekatan berbasis komunitas, keduanya justru dapat berjalan beriringan dan memberi manfaat ekologis, serta ekonomi secara berkelanjutan.


#jagahutanjagaorangutan

#satwaliarsahabatalam

 

Penulis: Fhelia Rahmawaty (KPP XI), Nabila Novia Rahmadani (KPP XI), Ahmad Ayyaduddin (KPP XII), Melanie Manda Pulki  (KPP XII), Indriani Nabila (KPP XII), Maulina Nur Hasanah  (KPP XII), Sindy Mey Assifatika (KPP XII), Nazwa Azahra (KPP XII)

 

Referensi

Fajria A. (2015). Estimasi Kepadatan Populasi Orangutan Sumatera (Pongo abelii LESSON, 1827) Berdasarkan Jumlah Sarang di Hutan Primer Resort Sei Betun Taman Nasional Gunung Leuser. Skripsi. Medan: Universitas Sumatera Utara.

IAR Indonesia & KSDAE. (2019). Laporan pelepasliaran enam orangutan hasil rehabilitasi dan monitor adaptasi di TNBBBR. Ditjen KSDAE.

Leslie, G., & Rahayu, M. I. F. (2023). Tantangan Dalam Menerapkan Undang-Undang Perlindungan Satwa Di Indonesia. Kertha Semaya: Journal Ilmu Hukum, 11(8).

Made, I. K.A.P. (2019). Pengendalian Pembukaan Lahan Perkebunan Kelapa Sawit Sebagai Upaya Pelestarian Habitat Orangutan di Indonesia. Jurnal Jurist Diction, 2 (2).

Rifai, M., Patana, P., & Yunasfi, Y. (2015). Analisis Karakteristik Pohon Sarang Orangutan Sumatera (Pongo abelii) di Bukit Lawang Kabupaten Langkat. Peronema Forestry Science Journal, 2(2), 130-136

Setiawan, E. (2018). The voice of Gunung Palung: Seri Keanekaragaman Hayati Taman Nasional Gunung Palung. Ketapang. Gunung Palung National Park (TNGP).

Sianipar HF. (2019). Topologi sarang orangutan sumatera di besitang taman nasional gunung leuser sumatera utara. Jurnal Fisika dan Terapannya, 1(1).

Ulva, S.M., Zuraidah, Z., Kamal, S., Siswoyo, P.H. (2019). Deteriorasi Habitat Orangutan Sumatera (Pongo abelii) di Kawasan Rawa Tripa. Prosiding Seminar Nasional Biologi, Teknologi dan Kependidikan.