Gambar 1. Bekantan (Nasalis larvatus) 
(Sumber: Adin, 2021)

Bekantan (Nasalis larvatus) merupakan salah satu primata endemik pulau kalimantan, biasanya ditemukan hidup pada hutan rawa, rawa gambut, muara pinggir sungai dan mangrove. Keberadaan bekantan sangat tergantung kepada kualitas ekosistem lahan basah, terutama mangrove dan hutan sempadan sungai (Bismark, 2010). Di Kalimantan Barat banyak ditemukan di muara sungai seperti di Kabupaten Sambas, Kubu Raya, Kayong Utara, dan Ketapang. Di Kalimantan Selatan dapat ditemui di daerah hutan rawa atau muara dan pinggiran sungai Pulau Kaget dan Pulau Laut. Di Kalimantan Tengah mudah dijumpai di Taman Nasional Tanjung Puting atau di sekitar Sungai Mahakam. Selain itu, Bekantan juga ditemukan di Taman Nasional Kutai serta hutan rawa gambut dan hutan bakau di pantai Kalimantan Timur. Bekantan memiliki banyak nama dari berbagai daerah dan negara. Di Inggris disebut Long-Nosed Monkey atau Proboscis Monkey, Malaysia   menyebutnya Kera Bekantan, Bangkatan di Brunei, dan Neusaap di Belanda. Orang Kalimantan juga memberikan beberapa nama untuk bekantan seperti Kera Belanda, Pika, Bahara Bentangan, Raseng, dan Kahau (Supriatna et al., 2000).

Bekantan memiliki ciri khas yang unik pada morfologinya yaitu bentuk hidungnya yang panjang dan besar. Ukuran hidung pada bekantan jantan lebih besar dibandingkan bekantan betina, begitu pula dengan ukuran tubuhnya. Bekantan jantan memiliki berat tubuh sekitar 16-22 kg sedangkan bekantan betina sekitar 7-12 kg. Selain itu bekantan memiliki ekor yang panjangnya hampir sama dengan panjang tubuhnya yaitu bekantan jantan sekitar 66-76 cm dan bekantan betina sekitar 53-64 cm. Tubuh bekantan ditumbuhi dengan rambut yang berwarna coklat keemasan dan putih keabu-abuan. Ciri hidung panjang dan rambut yang berwarna coklat keemasan inilah yang membuatnya disebut dengan monyet belanda karena mirip dengan perawakan bule. Bekantan merupakan primata yang sebagian besar makanannya adalah daun (folivorous), terutama daun-daun muda atau buah yang muda. Hal tersebut didukung oleh adaptasi sistem pencernaan sebagai pemakan daun (Soerianegara dkk, 1994).

Bekantan merupakan primata arboreal yang hidup di kanopi pohon. Kondisi vegetasi di habitatnya sangat menentukan kelangsungan pergerakan harian bekantan yang hidup di atas pohon. Seringkali dalam keadaan terpaksa, bekantan turun ke permukaan tanah untuk mencari makan ataupun air sambil menuju pohon istirahat atau pohon pakan (Alikodra, 2015). Bekantan bergerak dari dahan ke dahan dengan berbagai cara seperti melompat, bergantung, atau bergerak dengan keempat anggota tubuhnya. Selain itu, Bekantan juga merupakan perenang yang handal karena di bagian telapak kaki dan tangannya memiliki selaput kulit (web) seperti pada katak sehingga memudahkannya untuk menyeberang sungai. Selain itu, bekantan termasuk primata diurnal, yaitu aktifitasnya dilakukan mulai dari pagi hingga sore hari. Menjelang sore hari bekantan akan mencari pohon untuk tidur di sekitar tepi sungai. Anggota kelompok akan bergabung dalam satu pohon atau pohon lain yang letaknya berdekatan karena ekantan tidak membuat sarang untuk tidurnya. Bekantan dikenal sebagai hewan yang senang hidup berkelompok 12-27 ekor, ada juga yang memiliki anggota 60 sampai 80 jantan dan betina. Kelompok-kelompok bekantan tidak memiliki banyak struktur untuk tingkatannya. Sistem sosial bekantan memiliki dua tingkat, satu kelompok yang anggotanya jantan semua yang terdiri dari anak, remaja dan jantan dewasa. Jantan remaja akan meninggalkan kelompok pada umur sekitar 18 bulan, dan bergabung dengan kelompok yang semua anggotanya jantan .

Banyak keunikan yang dimiliki bekantan selain hidung dan warna rambutnya yaitu wajahnya juga unik karena berwarna merah-daging dengan mata kecil cokelat dan teelinganya kecil dan lurus ke atas kepala mereka. Keunikan bekantan ini, membuat bekantan sering dijadikan maskot. Selain keunikan secara morfologi bekantan juga pandai memainkan ekspresi dalam berbagai kondisi, seperti saat marah dan gembira maka hidung mereka akan membengkak dan berubah merah. Bila dalam keadaan bahaya bekantan akan mengeluarkan suara mirip klakson mobil yang keras seperti peringatan dan hidung mereka akan menonjol lurus. Bagi bekantan hidung memiliki fungsi sebagai resonator ketika bekantan bersuara. Perut besar yang dimiliki bekantan membuat sistem pencernaan mereka bisa memakan daun sebagai pasokan makanan utama mereka. Di dalam perut terdapat bagian-bagian penuh dengan bakteri yang mencerna selulosa. Bakteri ini membantu mencerna daun dan menetralkan racun dalam daun tertentu. Besar perut bekantan seperempat dari berat badannya, sehingga tak heran bila bekantan terlihat hamil permanen.

Dalam hal reproduksi, kematangan seksual pada bekantan betina adalah 5 tahun, dengan lama masa kehamilan selama 166 hari, setiap kali kelahiran jumlah anaknya adalah sebanyak 1 ekor dengan berat sekitar 450 g, dengan interval antar kehamilan selama 1,48 tahun dan rata-rata kelahiran 0,68/tahun (Primata Info Net, 2010). Biasanya mereka melahirkan bayi pada malam hari dan bayi yang baru lahir memiliki wajah biru dan bulu hampir hitam yang masih jarang-jarang. Di usia 3 sampai 4 bulan terjadi perubahan warna pada anak bekantan, semua itu menandakan mereka sudah dewasa. Para betina saling bekerja sama, dimana mereka saling menjaga dan menyusui anak-anak bekantan lain. Bayi ini baru bisa lepas dari sang ibu setelah satu tahun, di saat sang ibu sudah memiliki bayi lainnya. Bekantan jantan akan mencapai kematangan seksual pada sekitar 4-5 tahun dan betina dalam empat tahun.

Gambar 2. Status IUCN Bekantan 
(Sumber: IUCN, 2022)

IUCN Redlist mengkategorikan bekantan dalam status konservasi “Terancam” (Endangered). Bekantan dijadikan maskot (fauna identitas) provinsi Kalimantan Selatan berdasarkan SK Gubernur Kalsel No. 29 Tahun 1990 tanggal 16 Januari 1990. Bekantan juga termasuk primata yang terdaftar di dalam Appendix I dari CITES (the Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora) yang berarti tidak boleh diperdagangkan. Bekantan termasuk hewan yang dilindungi berdasarkan PP No. 7 Tahun 1999 (yang telah direvisi menjadi Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.20/MENLHK/SETJEN/KUM.1/6/2018) tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa

Populasi Bekantan di Pulau Kalimantan diperkirakan sekitar 260.000 tahun 1987. Pada tahun 1994, populasi bekantan di Kalimantan ditaksir sejumlah 114.000 ekor (Bismark, 2002). Namun dalam simposium PHVA bekantan tahun 2004, populasi bekantan ditaksir tinggal 25.000 ekor, dan yang berada di kawasan konservasinya 5.000 ekor. Namun, tahun 2008 diperkirakan terjadi penurunan drastis seiring semakin banyak hutan yang rusak akibat ulah manusia maupun bencana alam. Jumlah bekantan tahun 2008 diperkirakan hanya tersisa 25.000. Untuk memastikan berapa jumlah populasi bekantan perlu dilakukan survei atau pendataan secara menyeluruh. Penurunan populasi bekantan juga dipengaruhi oleh keberadaan predator seperti biawak, macan dahan, ular sanca, buaya, ular kobra (Bismark, 2004). Dalam upaya menghindari predator, pada umumnya bekantan menggunakan pohon yang tinggi, lurus, tidak banyak cabang, tajuk tidak bertautan dengan pohon lain dan tidak banyak tumbuhan merambatnya sebagai tempat tidur (Gadas, 1982).

Populasi bekantan berada dalam keadaan sangat kritis dikarenakan populasinya yang semakin menurun. Kerusakan dan konversi habitat, populasi air, kebakaran hutan dan illegal loging menjadi penyebab utama pemicu penuruan populasi bekantan. Sampai tahun 1995, tercatat habitat bekantan tersisa sekitar 39% dan yang berada pada kawasan konservasi hanya 15%. Saat ini, populasi bekantan dapat ditemui secara terbatas di kawasan konservasi, hutan produksi, hutan lindung dan kebun penduduk. Upaya konservasi bekantan masih sangat lemah. Penetapan bekantan menjadi maskot daerah pun masih belum berpengaruh terhadap upaya konservasi bekantan. Kesadaran masyarakat dan dukungan pemerintah mengenai konservasi bekantan pun masih sangat lemah (Alikodra, 2015).

Maka dari itu sudah seharusnya kita mulai menyadari keberadaan setiap satwa yang mulai terancam punah. Jaga dan lindungilah selagi satwa tersebut masih bisa terlihat. Kita harus bisa melestarikan dan melindungi setiap kekayaan flora dan fauna yang ada di indonesia terutama pada flora dan fauna endemik. Agar kelak anak cucu kita dapat tetap melihat segala keindahan dan keunikan yang dimilikinya.

Penulis: Fanesya Putri M (Angkatan VIII) dan Faqih Fathurahman Z (Angkatan VIII)


DAFTAR PUSTAKA

Alikodra, H.S. et al. (2015). Bekantan: Perjuangan Melawan Kepunahan. Bogor: IPB Press.

Bismark, M dan S Iskandar. (2002). Kajian total populasi dan struktur sosial bekantan (Nasalis larvatus) di Taman Nasional Kutai, kalimantan Timur. Bull Penelitian Hutan, 631: 17–29.

Bismark, M. (2004). Daya dukung habitat dan adaptasi bekantan (Nasalis larvatus Wurmb.) Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam. Puslitbang Hutan dan Konservasi Alam. Badan Litbang Kehutanan Bogor, 1(3):309- 320.

Bismark, M. (2010). Proboscis Monkey (Nasalis larvatus): Bioecology and Conservation. in Indonesian Primates. S Gursky-Doyen, J Supriatna (EDS). New York: Springer.

Gadas, S.R. (1982). Mengamati kehidupan bekantan. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian RI. 4(2): 3.

Soerianegara, I., D. Sastradipradja, H.S. Alikodra & M. Bismark. (1994). Studi habitat sumber pakan dan perilaku bekantan (Nasalis larvatus) sebagai parameter ekologi dalam mengkaji sistem pengelolaan habitat hutan mangrove di Taman Nasional Kutai. Bogor: PPLH Institut Pertanian Bogor.

Supriatna J dan Edy H W. (2000). Panduan Lapangan Primata Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

https://indonesia.go.id//kategori/seni/941/bekantan-si-hidung-besar-nan- mempesona?lang=1?lang=1