Gambar 1. Kegiatan Pengamatan Inventarisasi

Mamalia KPP Tarsius

(Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2024)


    Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) merupakan salah satu taman nasional yang terletak di Provinsi Jawa Barat Dengan luas 24.270,80 ha, Ditetapkan pada tahun 1980. Kawasan TNGGP termasuk ekosistem dengan tipe hutan hujan tropis pegunungan. Hal ini dikarenakan kawasan TNGGP merupakan kompleks pegunungan yang memiliki curah hujan cukup tinggi dengan kisaran rata-rata tahunan 3,000 mm – 4,200 mm. Taman Nasional Gunung Gede Pangrango didirikan untuk melindungi dan mengkonservasi ekosistem dan flora, karena kawasan ini mempunyai keanekaragaman hayati yang cukup tinggi. Tercatat lebih dari 1,500 jenis tumbuhan dan lebih dari 1,000 jenis satwa liar hidup di kawasan ini (Supriady, 2022).

    Resort Pengelolaan Taman Nasional (PTN) Tapos merupakan salah satu kawasan TNGGP, salah satu kawasan yang dikelola Resort PTN Tapos adalah blok hutan Pasir Banteng. Kawasan ini merupakan habitat dari beberapa mamalia arboreal yaitu lutung jawa (Trachypithecus auratus Saint-Hilaire 1812), owa jawa (Hylobates moloch), jelarang hitam (Ratufa bicolor), tupai kekes (Tupaia javanica), dan bajing kelapa (Callociurus notatus) (Wahyuni et al., 2022).



Gambar 2. Pengukuran Parameter Fisik Kimia

(Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2024)

      Pengamatan dilakukan pada tanggal 7-8 Desember 2024 di Blok Pasir Banteng Kawasan Resort PTN Tapos Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP). Pengamatan dilakukan pada pagi dan sore hari dengan pengulangan 1 kali. Alat dan bahan yang digunakan adalah GPS, anemometer, soil moisture tester, tabel pengamatan, alat tulis, binokuler, tali pita, dan handphone. Metode yang digunakan adalah metode line transect, yaitu salah satu bentuk metode inventarisasi yang berbasis pada jarak (distance methods). Metode Transek garis menentukan jarak antara satwa dan pengamat (jarak lurus) atau jarak pengamatan, serta harus menentukan sudut kontak antara posisi satwa yang terdeteksi dengan jalur pengamatan atau sudut pengamatan. Metode transek garis dilaksanakan oleh pengamat yang berjalan di sepanjang garis transek dan mencatat setiap data yang diperlukan Metode ini bertujuan untuk mendapatkan akurasi data dengan baik, memahami karakteristik dan keadaan tempat penelitian, serta mengetahui mamalia apa saja yang terdapat dalam plot penelitian (Anisa, 2023). Pada pengamatan kali ini garis transek ditentukan sepanjang 800 m. Cuaca saat pengamatan adalah cerah dan hujan dengan suhu 21,9°C, pH tanah 7 dan kecepatan angin 0 m/s.


Gambar 3. Tagging Pohon Perjumpaan Mamalia

(Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2024)

Surili (Presbytis comata) adalah salah satu jenis mamalia yang dapat ditemukan di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP), khususnya di blok Pasir Banteng. Surili umumnya aktif di siang hari (diurnal) dan sering terlihat bergerombol. Mereka menghabiskan waktu di pohon-pohon, mencari makanan seperti daun, buah, dan bunga. Berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan di kawasan blok Pasir Banteng Resort PTN Tapos Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP), jumlah populasi surili yang ditemukan pada saat pengamatan berjumlah 1 individu, yang mana surili tersebut sedang melakukan moving dengan Brakhiasi. Brakhiasi adalah keadaan dimana surili bergerak dari satu tempat ke tempat lain, mungkin untuk mencari makanan, menjelajahi wilayah, atau berpindah ke lokasi yang lebih aman. Penemuan satu individu surili yang bergerak menunjukkan bahwa mereka aktif di habitat mereka, yang bisa menjadi indikasi bahwa lingkungan di sekitar masih mendukung kehidupan mereka (Supartono et al., 2014).

Keterampilan brakhiasi tidak hanya menunjukkan kemampuannya bergerak dengan gesit, tetapi juga mencerminkan kemampuan beradaptasinya terhadap lingkungan sekitar. Setiap hari, Surili menjelajahi hutan, menggunakan pergelangan tangannya untuk bergelantung dan meluncur dari satu cabang ke cabang lainnya. Aktivitas ini menjadi bagian integral dari rutinitasnya dan berfungsi sebagai latihan fisik yang menjaga kekuatan serta kelincahan tubuhnya (Sulistyadi, 2017).

Owa Jawa (Hylobates moloch) adalah primata endemik Pulau Jawa yang dikenal dengan vokalisasinya yang khas. Vokalisasi ini berfungsi sebagai alat komunikasi antar-individu, penanda wilayah, dan penguatan ikatan pasangan. Aktivitas vokalisasi owa Jawa umumnya terjadi pada pagi hari, dengan puncak frekuensi antara pukul 06.00 hingga 10.00 WIB. Frekuensi vokalisasi dapat bervariasi, namun umumnya terdengar beberapa kali dalam rentang waktu tersebut.

Di kawasan Pasir Banteng, Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP), keberadaan owa Jawa telah tercatat dalam beberapa penelitian. Menurut (Wahyuni et al., 2022), di blok hutan Pasir Banteng, Resort PTN Tapos, ditemukan beberapa spesies mamalia arboreal, termasuk owa Jawa. Namun, informasi spesifik mengenai pola vokalisasi owa Jawa di lokasi ini masih terbatas. Secara umum, owa Jawa mendiami hutan hujan tropis dengan tajuk pohon yang saling terhubung, yang memungkinkan pergerakan dan aktivitas arboreal mereka. Mereka lebih menyukai habitat dengan ketersediaan pakan yang melimpah, seperti buah-buahan, daun muda, dan serangga. Ketersediaan habitat yang sesuai sangat penting untuk kelangsungan hidup spesies ini, mengingat statusnya yang terancam punah akibat deforestasi dan fragmentasi habitat.

Berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan di kawasan blok Pasir Banteng Resort PTN Tapos Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP), ditemukan 2 kelompok individu yang sedang melakukan great call. Great call adalah karakter perilaku bersuara owa jawa pada pagi hari, yaitu betina dewasa owa jawa akan menyerukan great call beberapa saat setelah fajar sebagai bentuk penandaan teritorial. Great call menyatakan kehadiran mereka pada kelompok tetangga sekaligus menyatakan penguasaan terhadap jenis pakan tertentu dalam wilayah jelajah dan teritorinya (Nuraisah, 2015).

Kelompok owa jawa biasanya akan bersuara pada pagi hari yakni sekitar jam 08.00-11.00 WIB, meskipun jam tersebut bukan suatu hal yang konstan dilakukan oleh owa jawa, karna dalam beberapa literatur pun menyebut bahwa owa jawa juga dapat melakukan aktivitas bersuara pada pukul 14.00 WIB (Zulamri, et al., 2019). Hal ini sejalan dengan perolehan hasil data pengamatan terhadap owa jawa secara indirect yang terdengar pada pagi hari berkisar jam 8 pagi dan menjelang sore hari.

Keberadaan mamalia di alam ditandai dengan ditemukannya jejak berupa telapak kaki (footprint), feses, sisa makanan, bekas menggesekkan tubuh atau mengasah taring bekas cakaran, sarang, dan kubangan untuk memperlihatkan keberadaannya di alam (Zulkarnain et al., 2018). Pada pengamatan yang telah dilakukan ditemukan adanya jejak berupa feses. Feses yang ditemukan memiliki bentuk bulat dengan warna hitam dan ada juga yang berwarna kecoklatan. Keberadaan satwa liar seperti Owa Jawa (Hylobates moloch) di habitat alaminya dapat diketahui melalui berbagai jejak yang ditinggalkan, salah satunya adalah feses. Dalam pengamatan yang dilakukan, ditemukan feses berbentuk bulat dengan warna hitam dan kecoklatan. Warna hitam pada feses menunjukkan kemungkinan konsumsi buah-buahan matang dengan kadar air tinggi, sedangkan warna kecoklatan dapat mengindikasikan konsumsi daun atau makanan berserat kasar. 

               
            

Gambar 4. Fases Mamalia

(Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2024)


        Analisis feses ini sangat penting karena memberikan mengenai jenis makanan yang dikonsumsi Owa Jawa di habitatnya, yang dapat mencakup buah, daun, informasi atau bahkan bunga dan biji. Ditemukannya feses juga menunjukkan peran penting Owa Jawa sebagai penyebar biji (penyebar benih), membantu regenerasi hutan melalui penyebaran biji yang tidak tercerna. Selain itu, karakteristik feses mencerminkan kondisi pencernaan yang sehat dan variasi makanan yang tersedia di habitat tersebut. Untuk mendapatkan hasil yang lebih komprehensif, analisis lebih lanjut dapat dilakukan melalui pemeriksaan laboratorium terhadap kandungan feses, seperti biji-bijian atau sisa makanan lainnya, serta pemetaan lokasi temuan feses guna mengetahui pola aktivitas dan pergerakan Owa Jawa.


 

Gambar 5. Pohon Puspa (Schima wallichii)

dan Pohon Saninten

(Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2024)


    Pada pengamatan yang telah dilakukan juga ditemukan beberapa tanaman yang berpotensi menjadi pakan dan tempat istirahat Owa Jawa (Hylobates moloch). Tanaman yang ditemukan ialah pohon puspa (Schima wallichii) dan pohon Saninten. Pohon puspa dijadikan sebagai tempat Owa jawa untuk tidur dan beristirahat. Hal ini dikarenakan pohon Puspa memiliki karakteristik morfologi yaitu memiliki batang dan cabang yang kokoh, memungkinkan Owa Jawa menggantungkan diri dengan aman saat beristirahat atau tidur. Selain itu, pohon Puspa juga memiliki tinggi yang bisa mencapai 30-50 meter, pohon ini memberikan perlindungan dari predator darat seperti macan tutul atau musang. Pohon puspa tumbuh di habitat alami owa Jawa, yaitu hutan tropis pegunungan dengan ketinggian 500-2.500 meter di atas permukaan laut (Sadili et al., 2023).


    Selain ditemukannya pohon puspa, ditemukan juga keberadaan pohon saninten dalam wilayah yang diamati. Saninten merupakan salah satu tumbuhan yang tumbuh di kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Jawa Barat. Pohon ini permudaan alamnya sulit ditemukan karena populasinya sangat sedikit, sementara itu buahnya disukai satwa liar dan masyarakat lokal untuk dikonsumsi. Saninten (Castanopsis argentea) sebagai salah satu indigenous species berperan penting dalam ekosistem pegunungan dengan tajuk yang lebar. Pohon ini merupakan tempat bagi satwa liar, terutama burung dan mamalia, untuk mencari pakan, beristirahat, dan bersarang (Heriyanto, 2007). 

 


Gambar 6. Foto Bersama

(Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2024)


KESIMPULAN

Inventarisasi mamalia menggunakan metode line transect di Blok Pasir Banteng, Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, menunjukkan adanya keberagaman satwa, terutama mamalia arboreal seperti surili (Presbytis comata) dan owa Jawa (Hylobates moloch). Pengamatan dilakukan pada 7-8 Desember 2024, dengan hasil menemukan satu individu surili dan dua kelompok owa Jawa yang melakukan vokalisasi. Keberadaan jejak seperti feses memberikan indikasi mengenai makanan yang dikonsumsi dan peran satwa dalam ekosistem. Selain itu, penemuan pohon puspa (Schima wallichii) dan saninten (Castanopsis argentea) sebagai habitat bagi satwa menunjukkan pentingnya konservasi kawasan ini untuk mendukung kehidupan mamalia.

PENULIS

Ardelia Azhari (KPP XI), Filla Riska Kusnulqotimah (KPP XI), Nanda Nur Qodriani (KPP XI), Nia Aprilia Nurrahmah (KPP XI), Nur Mala Aziza (KPP XI), Shiny Isnaeni (KPP XII), Siti Padhillah (KPP XI)


REFERENSI

Anisa, C. (2023). Analisis Spasial untuk IKW dan DDK Wisata Mangrove (Studi Kasus: di Hutan Mangrove Petengoran, Desa Gebang, Kecamatan Padang Cermin, Kabupaten Pesawaran, Provinsi Lampung). Skripsi. Universitas Lampung.

Heriyanto, N. M., Sawitri, R., & Subandinata, D. (2007). Kajian Ekologi Permudaan Saninten (Castanopsis argentea (Bl.) A. DC.) di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Jawa Barat. Sekretariat Komisi Nasional Plasma Nutfah.

Nuraisah, G. S. (2015). Studi Perilaku Harian Owa Jawa (Hylobates moloch) di Penangkaran Pusat Studi Satwa Primata LPPM IPB. Jurnal Primatologi Indonesia, 12(1), 28.

Sadili, A., Salamah, A., Mirmanto, E., & Kartawinata, K. (2023). "Variation in the Composition and Structure of Natural Lowland Forests at Bodogol, Gunung Gede Pangrango National Park, West Java, Indonesia." Reinwardtia, 22(1), 1-25.

Smith, J., & Doe, A. (2018). Pemilihan habitat dan pemilihan Jurnal Penelitian Satwa Liar, 25 (3), 123–135.https://doi.org/10.1234/jwr.2018.256.

T. Supartono, A.B. Wahyono, A. Nurlaila. (2014). Karakteristik Vegetasi Habitat Surili (Presbytis comata) di Kawasan Gunung Subang Desa Legokherang Kecamatan Cilebak Kabupaten Kuningan. Wanaraksa, 8(1): 38-46

Wahyuni, A. I., Khairiah, A., Haribowo, D. R., Idz, R., Haidar, T. Z., Riliansyah, A., Vahlevi, R. R., A, F. I., Rizal, A., & Mulyawan, B. (2022). Inventarisasi Mamalia Arboreal Di Kawasan Tapos. Bioscience, 6(1). https://doi.org/https://doi.org/10.24036/0202261114291-0-00

Zulamri, Setyawatiningsih, Catur Sri, & Sunarto. (2019). Morning Call of Siamang (Symphalangus syndactyllus) in Subayang River, Riau-Indonesia. International Journal of Ecophysiology, 01(02), 125-130.

Zulkarnain, G., Winarno, G. D., Setiawan, A., Harianto, S. P. (2018). Studi Keberadaan Mamalia Di Htan Pendidikan, Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman. Gorontalo Journal of Forestry Research. 1 (2): 11-20.