Gambar 1. Western Tarsier (Sumber: Shekelle, M., 2008) |
Haloo Sahabat Alam. Kalian
tahu tidak? Ada primata selain monyet ekor Panjang (Macaca fasicularis)
yang memiliki bobot kecil, yaitu Tarsius. Apa siih Tarsius?? Tarsius merupakan
primata terkecil di dunia dengan ukuran tubuhnya yang hanya berkisar 10-15 cm
dengan berat sekitar 80-165 gram dan terdapat di sejumlah pulau di Asia
Tenggara. Ukuran badan tarsius tidak lebih dari genggaman tangan orang dewasa. Tarsius
merupakan endemik Sulawesi yang memiliki warna rambut yang bervariasi, mulai
dari merah tua, cokelat, atau keabu-abuan tergantung dari spesiesnya. Tarsius
memiliki beragam keunikan, seperti matanya yang besar melebihi ukuran otaknya, kepala
yang bisa memutar 360˚, ekor yang panjang, dan kaki yang panjang melebihi
ukuran tubuhnya. Nama Tarsius ini diambil karena keunikannya yang memiliki
tulang tarsal yang memanjang. Kakinya yang panjang tentunya membantu Tarsius
untuk berpindah tempat dari satu pohon ke pohon lainnya dengan cara melompat
yang kisaran jarak lompatannya yaitu sekitar 3 m (Dahang & Siswanto, 2016).
Penduduk lokal sering
memanggil Tarsius engan sebutan tangkasi, penduduk siau menyebutnya gasi-seng
atau higo (Shekelle, 2008). Umumnya hewan ini hidup di pohon (arboreal). Sahabat
alam, ternyata Tarsius bisa bersuara looh. Menurut Niemitz & Verlag (2016) Tarsius
mengeluarkan suara khas untuk berkomunikasi antar spesies. Tarsius memiliki
komunikasi vokal sebagai siulan sebagai tanda bila ada gangguan, komunikasi calling
concerts dan family chouruses. Terdapat nada panggil yang
dikeluarkan Tarsius, baik sebagai alarm call untuk memanggil anggota
kelompoknya keluar dan kembali ke sarang, territorial call, fear call, threat
call, nada-nada yang dikeluarkan induk maupun anak dalam masa pengasuhan,
nada-nada yang dikeluarkan oleh jantan dan betina dalam mencari pasangan
(Gursky, 2015). Beberapa nada panggil tersebut memiliki frekuensi yang tinggi
sehingga berada di luar jangkauan atau tangkapan manusia. Tarsius dapat
terdengar dari jarak yang cukup jauh dan saling bersahut-sahutan antar satu
kelompok dengan kelompok yang lain atau antar individu dalam satu kelompok
(Sinaga, 2009).
Keunikan selanjutnya dari
Tarsius adalah dapat menangkap burung, serangga, dan semacamnya melalui
lompatanmnya dari satu batang ke batang pohon lainnya sebab Tarsius dikenal kepandaian
dan kecepatannya dalam melompat. Hal tersebut dikarenakan di bagian bawah jari
dan kaki Tarsius terdapat bantalan atau tonjolan yang dapat memungkinkan
melekat pada permukaan ketika saat melompat. Secara umum Tarsius merupakan
predator yang memangsa binatang hidup, 90% diantaranya merupakan Arthropoda
(seranggga) dan 10% lainnya termasuk Vertebrata seperti burung, kelelawar, dan
kadal (Shekelle & Leksono, 2004). Tarsius aktif mencari makan di malam hari
(nocturnal), tetapi Tarsius tidak memiliki pemantulan cahaya (tapetum
lucidum) di matanya sehingga sulit terlihat di malam hari. Pada siang hari,
Tarsius bersantai dan berteduh hingga tidur dibawah dedaunan. Tarsius sering
disebut mirip dengan burung hantu karena kemampuannya memutar kepala dan sering
pula dikira sebagai tikus karena ekornya yang panjang.
Sahabat Alam, ternyata
dengan mengenal Tarsius, kita juga dapat belajar kesetiaan dari Tarsius loohh….
Tarsius hidup berpasangan atau membentuk kelompok kecil yang hanya terdiri dari
satu ekor jantan dan betina dewasa atau satu ekor jantan dewasa, satu ekor
betina dewasa, dan anak-anaknya. Tarsius sangat romantis terhadap pasangannya
karena sifatnya yang monogami membuat Tarsius sangat setia. Kesetiaan Tarsius
ini dapat dilihat ketika pasangannya mati, maka Tarsius akan hidup sendiri
tanpa mencari pasangannya kembali. Hal ini juga menjadi salah satu pendukung
pengurangan populasi Tarsius. Setiap kelompok Tarsius memiliki daerah
teritorinya masing-masing yang ditandai dengan urin, kotoran, ataupun bau
badannya. Bagi peneliti keberadaan urin merupakan salah satu faktor penentu
dalam mengetahui keberadaan Tarsius di suatu lokasi (Bumbungan, N., Annawaty,
& Yulius Duma, 2017).
Gambar 2. Distribusi Tarsius yang masih ada saat ini (Sumber: Shekelle, M., 2008) |
Gambar 3. A.
Western Tarsier, B. Philippine Tarsier, dan C. Eastern Tarsier
(Sumber: Shekelle, M., 2008) |
Tarsius selain ditemukan di
hutan hujan primer, seperti lahan pertanian, semak belukar, dan mangrove.
Namun, Tarsius paling menyukai jalinan akar yang besar (Saroyo dan Koneri R.
2013), Tarsius endemik di Pulau Sulawesi karena Pulau Sulawesi tidak pernah
menyatu dengan daratan manapun. Tarsius memiliki persebaran yang terbagi
menjadi 3 wilayah yaitu Philippine Taesier, Western Tarsier, dan Eastern Tarsier
karena pada geografi dahulu Philipina memiliki jarak yang dekat dengan Sulawesi
sehingga dimungkinkan terjadi persebaran. Pada 3 wilayah tersebut terdapat 14
spesies dan tiga genus, yaitu Genus Tarsius
di Sulawesi, Genus Cephalophacus di
Sumatera, Bangka, Belitung dan Kalimantan, serta Genus Carlito di Philipina. Dari 14 spesies Tarsius dunia, sebanyak 13
spesies terdapat di Indonesia, terutama di Pulau Sulawesi dan sekitarnya,
seperti Kepulauan Sangihe dan Talaud, Pulau Buton dan Pulau Peleng.
Dalam proses ekologi,
Tarsius memiliki peran penting, yaitu sebagai pengendali serangga dan hama karena
makanan utamanya berupa serangga. Namun, saat ini semua spesies Tarsius
mengalami penurunan populasi, kecuali Phyllomedusa
tarsius yang diamati berdasarkan Red List
IUCN. Tarsius digolongkan dalam satwa dilindungi oleh negara berdasarkan UU
nomor 5 tahun 1990 karena dikategorikan dengan status rentan (vulnerable). Tarsius dilindungi oleh
perjanjian internasional, termasuk CITES Appendix II, tetapi karena ciri khas
yang unik membuat Tarsius banyak diburu dan diperdagangkan secara ilegal bahkan
Tarsius tumpara dijadikan sebagai makanan
ringan oleh penduduk Siau yang mana jika ini terus berlanjut T. tumpara akan mengalami kepunahan. Hal
ini menyebabkan T. tumpara termasuk kedalam
kategori Critically Endangered dalam Red
List IUCN (Shekellle et al., 2008). Hilangnya habitat asli, seperti
pembalakan hutan tentunya menjadi faktor penentu utama kepunahan Tarsius.
Kelestarian Tarsius membutuhkan penanganan khusus, terutama pemenuhan pakan dan
tempat berlindung yang menunjang kelangsungan hidupnya. Tentunya diperlukan
pula edukasi dan kesadaran masyarakat akan pentingnya primata agar primata,
khususnya Tarsius bebas dari kepunahan.
Maka dari itu, mari
bersama-sama membantu melestarikan Primata khususnya Tarsius dengan cara tidak
memburunya dari habitat aslinya, sebab Tarsius memiliki peran yang sangat
penting bagi ekosistemnya dan menjadi pahlawan bagi para petani dalam
mengendalikan serangga sebagai hama. Menyebarluaskan pentingnya melestarikan
Tarsius melalui media sosial juga dapat mengedukasi masyarakat yang masih awam.
Serta menanamkan Pendidikan konservasi
kepada anak anak merupakan hal terpenting sebab mereka adalah geenrasi
penerus konservasi. KPP Tarsius! Satwa Liar, Sahabat Alam!
Penulis : Dia Kurnia Alam (Angkatan IX) dan Ade
Basyuri (Angkatan VIII)
Daftar
Pustaka
Bumbungan,
N., Annawaty, & Yulius Duma. (2017). Keanekaragaman Pakan Tarsius (Tarsius wallacei Merker., et al, 2010) di Lebanu, Marawola, Sigi, Selawesi
Tengah. Jurnal Biocelebes, 11 (2): 34
– 41.
Dahang, D.
& Siswanto, A. (2016). Posisi Pergerakan Tarsius Tarsier Erxleben 1777. Saintech,
33-42.
Gursky, S.
(2015). Ultrasonic Vocalization by The Spectral Tarsier, Tarsius Spectrum. Folia
Primatologica, 4352 (4): 153-163.
Saroyo
& Koneri R. (2013). Konservasi
Primata Endemik Nokturnal, Tangkasi (Tarsius spectrum), Melalui Kajian
Diatribusi dan Estimasi Populasi Di Sulawesi Utara: Penggunaan Metode yang
Dikembangkan. Laporan Hasil Penelitian Tahun II. Manado: Lembaga Penelitian
Universitas Sam Ratulangi.
Shekelle,
M. (2008). Distribution and biogeography
of Tarsiers. Dalam: Shekelle M, Groves C, Maryanto I, Schulze H, Fitch-Snyder H
(Eds). Primates of the Oriental Night pp 13– 28. Jakarta: LIPI.
Shekelle,
M. & Leksono, S. M. (2004). Strategi Konservasi di Pulau Selawesi dengan
Menggunakan Tarsius sebagai Flagship Spesies. Jurnal Biota, 9 (1): 1 – 10.
Shekelle,
M. et al. (2008). Tarsius tumpara: A
New Tarsier from Siau Island, North Sulawesi. Primate Conservation, 23 (1): 55 – 64.
0 Comments
Posting Komentar