Dari Hutan
ke Pasar Gelap: Jejak Perdagangan Primata Indonesia
(Sumber: Kompas, 2019)
Indonesia dikenal sebagai rumah bagi
lebih dari 40 spesies primata, termasuk owa jawa (Hylobates moloch), siamang (Symphalangus
syndactylus), orangutan (Pongo
pygmaeus dan Pongo abelii),
hingga beruk (Macaca nemestrina) dan
monyet ekor panjang (Macaca fascicularis).
Kehadiran mereka sangat penting, bukan hanya sebagai bagian dari keanekaragaman
hayati, tetapi juga dalam menjaga keseimbangan ekosistem, misalnya sebagai
penyebar biji yang membantu regenerasi hutan.
Namun, kekayaan ini justru menjadi incaran pasar gelap. Dari perburuan liar di hutan, primata diperdagangkan secara ilegal, bahkan hingga menembus pasar internasional. Jejak perdagangan primata menunjukkan bagaimana satwa yang seharusnya hidup bebas di rimba, justru berakhir di kandang sempit, rumah-rumah warga, hingga meja transaksi lintas negara.
Potret
Perdagangan Primata di Indonesia
Kasus terbaru menunjukkan betapa seriusnya
ancaman perdagangan primata di Indonesia. Di antara seluruh spesies owa,
siamang (Symphalangus syndactylus)
tercatat sebagai yang paling sering diperdagangkan. Hal ini terlihat dari
beberapa kasus besar, salah satunya pada
Maret 2025 ketika TNI AL berhasil menggagalkan upaya penyelundupan kapal
menuju Malaysia di lepas pantai Sumatera Utara. Dalam kasus tersebut, ditemukan
10 ekor owa, tujuh diantaranya bayi siamang, yang hendak diperdagangkan secara
ilegal. Hanya dua bulan berselang, pada Mei 2025, Kementerian Kehutanan juga
menggagalkan upaya perdagangan siamang di Bogor. Kasus ini memperlihatkan
bagaimana media sosial kini kerap dimanfaatkan sebagai sarana transaksi satwa
liar (Serhadli, 2025).
Skala
perdagangannya pun tak hanya terbatas pada satwa hidup. Pada Maret 2025,
Direktorat Jenderal Gakkum KLHK menggagalkan upaya ekspor 94 bagian tubuh satwa
liar, termasuk 70 tengkorak primata, yang rencananya akan dikirim ke Amerika
Serikat dan Inggris. Temuan ini menjadi bukti kuat bahwa perdagangan primata di
Indonesia bukan sekadar persoalan lokal, melainkan sudah terhubung dalam
jaringan kriminal transnasional (Kementerian Kehutanan, 2025).
Pada
Juli 2025, dua ekor Owa Jawa (Hylobates
moloch)—satwa endemik Jawa yang berstatus sangat terancam
punah—masing-masing betina berusia 1,6 tahun dan jantan berusia 7 bulan, dijual
setelah sebelumnya diperoleh dari dua lokasi berbeda, yaitu Jawa Tengah dan
Karawang, dengan harga Rp3 juta per ekor. Kedua satwa langka tersebut kemudian
ditawarkan kembali dengan harga Rp8,5 juta untuk dua ekor (Kristiadi, 2025).
Selain itu, sekitar seratus individu bekantan terlibat dalam perdagangan ilegal, dimana seluruhnya berasal dari Indonesia. Dalam sepuluh tahun terakhir, aktivitas perdagangan ini mengalami peningkatan signifikan, di mana hampir separuh kasus ditemukan melalui platform media sosial seperti Facebook dan Instagram. Bekantan sendiri masuk dalam Apendiks I CITES, yang secara tegas melarang perdagangan internasional untuk tujuan komersial, kecuali dalam rangka pertukaran antar kebun binatang atau penelitian ilmiah. Lokasi penyitaan terbanyak tercatat di Kalimantan, Jawa, dan Sulawesi. Dari 25 laporan yang dianalisis, 13 diantaranya secara jelas menyebutkan adanya aktivitas perdagangan, sementara tiga laporan lain menyoroti kasus pembunuhan bekantan (Nijman & Shepherd, 2025).
Undang-Undang
tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1990 dengan tegas melarang segala bentuk aktivitas yang berkaitan dengan satwa dilindungi, termasuk menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, hingga memperniagakannya. Larangan tersebut tercantum dalam Pasal 21 ayat (2) huruf a. Bagi siapa pun yang dengan sengaja melanggar ketentuan ini, Pasal 40 ayat (2) menetapkan ancaman pidana berupa penjara maksimal lima tahun serta denda hingga seratus juta rupiah. Ketentuan ini menjadi dasar hukum penting dalam upaya menjaga kelestarian satwa dan ekosistemnya (Regulasip, 2018).
Dampak
Perdagangan Ilegal Primata
Perdagangan ilegal primata membawa dampak ekologis, genetik, kesehatan, dan sosial-ekonomi. Secara ekologi, penurunan populasi primata menghambat regenerasi hutan karena berkurangnya kemampuan penyebaran biji. Fragmentasi populasi meningkatkan risiko inbreeding, sedangkan perdagangan ilegal memperbesar risiko penularan penyakit zoonosis kepada manusia. Dari sisi sosial-ekonomi, perdagangan ini mengurangi potensi ekowisata bagi masyarakat lokal, dan primata yang diperdagangkan sering dipelihara dalam kondisi buruk, mengalami stres, kelaparan, dan kematian sebelum mencapai pembeli (Estrada et al., 2017).
Upaya
Penanggulangan yang Perlu Dilakukan
Untuk memutus rantai perdagangan
primata ilegal yang mengancam keanekaragaman hayati Indonesia, diperlukan
pendekatan multi-pilar yang sinergis. Dari sisi penegakan hukum, frekuensi dan
jangkauan operasi penindakan oleh Gakkum KLHK dan Kepolisian RI di titik-titik
rawan seperti pelabuhan dan perbatasan harus ditingkatkan secara proaktif.
Upaya ini perlu diperkuat dengan penerapan Undang-Undang Tindak Pidana
Pencucian Uang (TPPU) untuk melacak aliran dana, membongkar jaringan hingga ke
aktor intelektualnya, dan memiskinkan para gembong kejahatan. Seiring dengan
pergeseran pasar ke ranah digital, pengawasan perdagangan daring menjadi
krusial melalui kolaborasi erat antara pemerintah dan perusahaan teknologi
untuk mempercepat penghapusan konten ilegal dan memblokir akun-akun yang
terlibat dalam transaksi satwa liar (INTERPOL, 2020).
Di sisi
lain, upaya penindakan harus diimbangi dengan strategi untuk menekan permintaan
dan melibatkan masyarakat secara langsung. Kampanye edukasi publik yang masif
sangat vital untuk mengubah perilaku masyarakat, dengan menekankan bahwa
primata bukanlah hewan peliharaan, serta menyadarkan akan risiko penularan
penyakit zoonosis (Jones et al., 2020) dan fakta kekejaman di balik setiap
individu primata yang diperdagangkan. Pada saat yang sama, pelibatan masyarakat
yang tinggal di sekitar habitat primata adalah kunci. Pemberian alternatif
ekonomi yang berkelanjutan terbukti dapat mengurangi keterlibatan warga dalam
perburuan liar (USAID, 2022), menjadikan mereka sebagai garda terdepan dalam
perlindungan habitat. Implementasi seluruh tindakan ini secara konsisten adalah
satu-satunya cara untuk memastikan primata tetap lestari di habitat alaminya,
bukan berakhir di pasar gelap.
Penulis: Mutiara Salsabila (KPP XII), Najwa Rifani Salam (KPP 12),
Nurmaliha Khayrani (KPP XII)
Referensi
Estrada,
A., Garber, P. A., Rylands, A. B., Roos, C., Fernandez-Duque, E., Di Fiore, A.,
Nekaris, K. A., Nijman, V., Heymann, E. W., Lambert, J. E., Rovero, F.,
Barelli, C., Setchell, J. M., Gillespie, T. R., Mittermeier, R. A., Arregoitia,
L. V., de Guinea, M., Gouveia, S., Dobrovolski, R., Shanee, S., Li, B. (2017).
Impending extinction crisis of the world's primates: Why primates matter. Science advances, 3(1)
INTERPOL.
(2020). Wildlife Crime and the Digital World. INTERPOL Strategic Analysis
Report.
Jones,
K. E., et al. (2020). Global hotspots and correlates of emerging zoonotic
diseases. Nature, 580(7805), 634-639.
Kementrian
Kehutanan. (2025). Ditjen Gakkum gagalkan penyelundupan 94 spesimen TSL, dua
pelaku dijadikan tersangka. https://kehutanan.go.id/pers/ditjen-gakkum-gagalkan-penyelundupan-94-spesimen-tsl-dua-pelaku-dijadikan-tersangka
Kristiadi.
(2025). Polisi gagalkan perdagangan 2
ekor Owa Jawa di Tasikmalaya. Media Indonesia.
Nijman,
V., & Shepherd, C. R. (2025). Review of the trade in proboscis monkeys over
the last 25 years. Discover Animals, 2:36.
Regulasip.
(2018). Undang-undang tentang konservasi
sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Indonesia
Regulation Database.
Serhadli,
S. (2025). Illegal trafficking of siamang
gibbons is a concerning and underreported crisis (commentary). Mongabay.
USAID.
(2022). Connecting Conservation and Development: A Decade of USAID’s
Biodiversity Conservation Efforts. USAID Report.
0 Comments
Posting Komentar