Gambar 1. Seseorang yang sedang bersama monyet ekor panjang yang dijadikan topeng monyet
(Sumber: Afifah, 2025)
Praktik topeng monyet merupakan salah satu jenis eksploitasi satwa liar terbesar yang ada di Indonesia. Praktik ini biasanya mengorbankan spesies Macaca fascicularis atau monyet ekor panjang (MEP) sebagai objek pertunjukan (dancing monkey). Semua satwa liar dari Ordo Primata merupakan satwa liar yang tidak diperkenankan untuk dipelihara apalagi dimanfaatkan dalam berbagai bentuk pertunjukan, baik secara legal apalagi ilegal. Penggunaan satwa liar seharusnya hanya untuk bahan penelitian yang bertujuan untuk kebutuhan pengetahuan umat manusia, seperti penelitian dalam bidang biomedis, maupun penelitian-penelitian lain dalam bidang ilmu sains dan teknologi. Meskipun dalam bidang ilmu lain penggunaan satwa liar perlu secara hati-hati untuk mengutamakan prinsip-prinsip bioetika dan prinsip-prinsip kesejahteraan satwa (Sujuthi et al., 2016).
Status Konservasi Macaca fascicularis
Status
konservasi Macaca fascicularis menurut
IUCN dikategorikan sebagai spesies rentan mengalami kepunahan (vulnerable). Dengan adanya eksploitasi
monyet ekor panjang sebagai objek pertunjukan topeng monyet membuat populasinya
kian mengalami penurunan dan. Praktik ini secara langsung dapat menjadi salah
satu faktor naiknya status konservasinya. Praktik topeng monyet mengabaikan
prinsip kesejahteraan satwa, Macaca
fascicularis dilatih sangat keras dan dibiarkan hidup secara terikat agar
bisa memberikan pertunjukan yang menarik, sehingga dapat menghasilkan sebuah
pundi-pundi rupiah bagi pelaku. Eksploitasi satwa ini telah menjadi sebuah
pekerjaan yang sangat marak ditemukan. Tidak hanya menyakiti hewan tetapi juga
menimbulkan risiko kesehatan bagi masyarakat. Seperti penularan penyakit
zoonosis (rabies, TBC). Selain itu, keberadaan monyet ekor panjang yang tidak
berada pada habitat alaminya rentan memicu sebuah konflik dengan manusia di
kawasan pemukiman (Indrarini, 2015).
Sejak
Maret 2022, monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) telah diklasifikasikan
sebagai spesies "terancam punah" oleh International Union for
Conservation of Nature (IUCN). Penurunan populasi diperkirakan mencapai 40%
dalam tiga generasi atau sekitar 42 tahun. Ironisnya, meskipun status globalnya
sudah mengkhawatirkan, spesies ini belum termasuk dalam daftar satwa yang
dilindungi secara hukum di Indonesia. Hal ini membuat monyet ekor panjang
semakin rentan terhadap berbagai bentuk eksploitasi, termasuk dijadikan atraksi
topeng monyet keliling (IUCN, 2022).
Penegakan Hukum Di Indonesia
Penegakan
hukum terhadap eksploitasi satwa liar, khususnya monyet ekor panjang (MEP) di
Indonesia masih menghadapi jalan buntu. Hal ini karena MEP belum termasuk ke
dalam daftar satwa liar yang dilindungi menurut peraturan perundang-undangan
yang berlaku. Meskipun Badan Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) bersama aparat
penegak hukum dan organisasi pemerhati satwa seperti Jakarta Animal Aid Network
(JAAN) telah beberapa kali menangkap dan menindak pelaku eksploitasi, proses
hukum sering menemui hambatan. Hal ini disebabkan oleh keterbatasan payung
hukum yang spesifik dalam melindungi MEP. Oleh karena itu, penindakan kerap
kali mengandalkan undang-undang lain, seperti peraturan tentang peternakan dan
kesehatan hewan, yang tidak sepenuhnya relevan dalam konteks eksploitasi satwa
liar. Padahal, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya
Alam Hayati dan Ekosistemnya telah memberikan kerangka hukum untuk pelestarian
keanekaragaman hayati secara umum, termasuk perlindungan terhadap sistem
pendukung kehidupan dan keberlanjutan ekosistem. Namun karena keterbatasan
daftar spesies yang dilindungi, implementasinya terhadap kasus MEP belum
optimal (Irawan & Dwiprigitaningtias, 2019).
Sejalan dengan hal tersebut, beberapa daerah seperti Jakarta, Bandung, dan Bali telah mengambil langkah progresif dengan melarang atraksi topeng monyet sebagai bentuk perlawanan terhadap eksploitasi satwa. Kebijakan ini merupakan bukti bahwa kesadaran dan kepedulian terhadap kesejahteraan hewan semakin meningkat. Organisasi sepertiJakarta Animal Aid Network (JAAN) tidak hanya mendukung pelarangan total atraksi tersebut, tetapi juga memberikan solusi nyata melalui program rehabilitasi monyet yang diselamatkan serta menyediakan bantuan modal usaha kepada para pelaku untuk beralih ke pekerjaan yang lebih manusiawi. Sinergi antara regulasi hukum, peran pemerintah daerah, dan dukungan organisasi masyarakat sipil menjadi kunci penting dalam menciptakan perlindungan nyata bagi satwa liar, khususnya spesies yang belum dilindungi secara formal namun rentan terhadap eksploitasi (Adhitya & Vera, 2022).
Ancaman Perdagangan dan Habitat Akibat Praktik
Topeng Monyet
Kegiatan
perdagangan satwa liar termasuk monyet ekor panjang (MEP), masih menjadi salah
satu bentuk pelanggaran hukum yang terus terjadi di Indonesia, meskipun telah
jelas larangannya dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi
Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Perdagangan ini tidak hanya dilakukan
secara langsung, tetapi juga dilakukan melalui platform digital seperti media
sosial dan e-commerce, yang memperluas jangkauan dan mempercepat praktik ilegal
ini. Data dari Yayasan Inisiasi Alam Rehabilitasi Indonesia (YIARI) menunjukkan
bahwa selama periode 2020–2022 sebanyak 1.650 monyet ekor panjang dan 77 beruk
diperjual-belikan melalui grup Facebook, dengan pusat perdagangan terbesar
berada di provinsi Jawa Barat, Jawa Timur, dan DKI Jakarta. Fenomena ini
menunjukkan lemahnya pengawasan terhadap perdagangan satwa secara daring serta
masih rendahnya kesadaran dan penegakan hukum (Kusumawati Diah, 2016).
Berkembangnya
peristiwa perdagangan ilegal ini, mengakibatkan tingginya permintaan MEP oleh
para pelaku yang bertindak sebagai konsumen. Mereka menginginkan MEP untuk
ditransformasi menjadi alat penghasil rupiah ataupun hanya sekedar memuaskan
hasrat pribadi untuk memeliharanya. Tingginya permintaan konsumen ini
mengakibatkan para pemburu MEP menghalalkan segala cara demi mendapatkan MEP
yang lebih banyak, salah satunya dengan merusak habitat alami agar MEP dapat
beralih menuju pemukiman warga. Kerusakan habitat ini menjadi ancaman besar
yang memperburuk populasi MEP. Hingga saat ini, sekitar 70% habitat alami
mereka telah hilang, dari luas semula 217.981 km² menyusut drastis menjadi
hanya 73.371 km², dan hanya sebagian kecil yang berada di dalam kawasan
konservasi. Hilangnya habitat disebabkan oleh laju deforestasi yang masif, alih
fungsi lahan, serta konflik dengan manusia yang kian meningkat. Meskipun
ancaman ini nyata dan serius, monyet ekor panjang belum termasuk dalam daftar
satwa yang dilindungi. Akibatnya, spesies ini menjadi sangat rentan terhadap
eksploitasi, baik sebagai objek perburuan, perdagangan, maupun praktis topeng
monyet (Khatijah, 2020).
Penulis : Rafi’ Hilman AL-Ghiyasi
(KPP 12), Rizky Maulana Cahyadi (KPP 12), Nurhayati Hasibuan (KPP 12),
Nurhayati Hasibuan (KPP 12), Nabilla Azzahra (KPP 12), Shiny Isnaeni (KPP 12),
Filla Riska (KPP 11), Siti Padhilla (KPP 11), Nia Aprilia (KPP 11).
Referensi
Adhitya,
R., Rd Muhammad,
I., & Vera,
N. (2022). PENEGAKAN HUKUM PIDANA
PADA PELAKU ANIMAL ABUSE DI
INDONESIA [Sriwijaya University]. https://repository.unsri.ac.id/62218/
Indrarini, P. (2015). Perilaku stereotipe pada monyet ekor panjang (Macaca fascicularis)
hasil sitaan dari pertunjukan
topeng monyet : sebuah
studi pendahuluan
[Universitas Indonesia]. http://lib.ui.ac.id/detail?id=20403063&lokasi=lokal
Irawan, A. S., & Dwiprigitaningtias, I. (2019).
Sanksi Terhadap Eksploitasi Hewan Dalam Usaha Topeng Monyet Dikait kan
Dengan Undang Undang
Peternakan Dan Kesehatan
Lingkungan. Jurnal Dialektika
Hukum, 1 (2), 184–198.
IUCN. (2022). Macaca fascicularis. The IUCN Red List
of Threatened Species 2022: e.T12551A17950425.
Khatijah, K. (2020). Perlindungan Hukum Terhadap Satwa (Tidak Dilindungi) Menurut Perspektif
Hukum Pidana di Indonesia. Universitas Jember
Kusumawati Diah, 2016, Bahan Ajar Satwa Liar, UGM Pers, Yogyakart
Sajuthi, D., Astuti, D. A., Perwitasari-Farajallah,
D., Iskandar, E., Sulistiawati, E., Suparto, I. H., & Kyes, R. C. (2016). Hewan Model
Satwa Primata Macaca fascicularis: Kajian Populasi, Tingkah laku, Status Nutrien, dan Nutrisi
untuk Model Penyakit (1st ed.). IPB Press.
0 Comments
Posting Komentar