Gambar 1. Kegiatan Pengamatan Inventarisasi Mamalia KPP Tarsius 
(Sumber: Dokumen pribadi, 2023)

Taman Nasional Gunung Gede Pangrango berada pada tiga kabupaten yaitu Kabupaten Sukabumi, Kabupaten Bogor dan Kabupaten Cianjur. Taman Nasional Gunung Gede Pangrango ditetapkan sebagai Taman Nasional pada tahun 1980 dan memiliki luas 24.270,80 Ha. Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) merupakan taman nasional yang pertama diumumkan di Indonesia pada tahun 1980 oleh Menteri Pertanian RI. Pada tahun 2003 dilakukan perluasan dari 15.196 ha menjadi 21.975 ha. Perluasan dilakukan mengingat kawasan di sekitar TNGGP merupakan habitat dan daerah jelajah beberapa jenis satwa langka seperti surili, owa jawa, lutung jawa, macan tutul, monyet ekor panjang, tupai dan beberapa jenis burung yang dilindungi (Hambali & Jakiatin, 2018).

Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) merupakan sebuah kawasan konservasi yang diperuntukkan bagi perlindungan, pengawetan sumber daya alam dan budaya secara global, yang memberikan nilai bagi perlindungan habitat alam beserta flora dan fauna yang ada di dalamnya, serta memelihara keseimbangan lingkungan sekitarnya, yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi. Kawasan TNGGP merupakan kawasan konservasi yang mempunyai ciri khas berupa keanekaragaman dan keunikan jenis satwa, dengan fungsi pokok sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman tumbuhan, satwa beserta ekosistemnya dan sebagai wilayah perlindungan sistem penyangga kehidupan.

Secara administratif, Resort PTN Tapos berada di tiga wilayah Kecamatan yaitu Kecamatan Ciawi, Kecamatan Caringin dan Kecamatan Megamendung Kabupaten Bogor. Kawasan ini secara umum merupakan bukit dan gunung dengan sedikit daerah landai serta memiliki ketinggian mulai dari 450-3.019 mdpl. Ekosistem kawasan tergolong sebagai perwakilan tipe hutan hujan tropis pegunungan (Schmidt dan Ferguson, 1951). Keberadaan mamalia memiliki peran penting dalam mempertahankan dan memelihara kelangsungan proses-proses ekologis dan menjaga keseimbangan ekosistem (Kartono et al., 2002). Saat ini banyak terjadi kerusakan yang akan berdampak buruk terhadap keberlangsungan hidup mamalia khususnya mamalia penting yang terdapat di dalam PTN Tapos. Kegiatan inventarisasi ini bertujuan untuk memperoleh data inventarisasi mamalia di kawasan Pengelolaan Taman Nasional (PTN) Tapos dan diharapkan dapat memberikan data sains yang dapat digunakan sebagai referensi untuk upaya dalam konservasi mamalia di PTN Tapos.

Gambar 2. Pengukuran Parameter Fisik Kimia 
(Sumber: Dokumen pribadi, 2023)

Pengamatan dilakukan pada tanggal 17-19 November 2023 di Blok Pasir Koja Kawasan Resort PTN Tapos Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP). Jalur yang diambil untuk melakukan pengamatan adalah di jalur Koja bagian atas dan Koja bagian bawah. Cuaca saat pengamatan adalah cerah dan hujan dengan suhu 22,5°C, pH tanah 7,15 dan kecepatan angin 2,5 m/s. Metode yang digunakan adalah metode line transect, yaitu dengan berjalan menyusuri hutan di sepanjang garis transek yang telah ditentukan (Hidayat et al., 2017). Pada pengamatan kali ini garis transek ditentukan sepanjang 2 km. Metode line transect bertujuan untuk mengetahui hubungan perubahan keanekaragaman satwa mamalia dan perubahan lingkungan. Apabila objek yang diamati berada peta pengamatan yang dipasang, akan dicatat jenisnya dan dihitung jumlahnya (Fachrul, 2012). Pengamatan dilakukan pada pagi dan sore hari dengan pengulangan 1 kali. Alat dan bahan yang digunakan adalah GPS, anemometer, soil moisture tester, tabel pengamatan, alat tulis, binokuler, tali pita, dan handphone.

Setelah dilakukan pengamatan didapati 2 spesies yang ditemukan sedang beraktivitas pada kawasan Blok Pasir Koja, yaitu monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) dan tupai (Tupaia sp.) beberapa individu dari kedua spesies ini ditemukan pada pohon yang berbeda-beda. Monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) merupakan salah satu primata yang termasuk dalam sub famili Cercopithecidae (Fauzi et al., 2020). Primata ini tersebar di kawasan Asia Tenggara dan dapat ditemukan di Indonesia, Malaysia, Filipina, Kamboja, Thailand, Vietnam dan Laos. MEP dapat ditemukan di berbagai tipe habitat karena spesies ini sangat mudah beradaptasi dengan lingkungannya (Ruppert et al., 2018). MEP dapat menghuni hutan hijau primer, sekunder, area riparian seperti pantai, mangrove, serta area pertanian dan perkebunan. MEP juga dapat ditemukan di lokasi dataran tinggi seperti taman nasional (Nasution & Rukayah, 2020).

Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan di kawasan blok Pasir Koja Resort PTN Tapos Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP), ditemukan 18 individu pada titik perjumpaan yang berbeda namun didominasi oleh pohon bambu. Persebaran MEP lebih banyak ditemukan pada Blok Pasir Koja bagian bawah dibandingkan dengan Blok Pasir Koja bagian atas, karena pada saat pengamatan sedang terjadi hujan sehingga monyet ekor panjang bermigrasi ke Blok Pasir Koja bagian bawah yang memiliki kerapatan vegetasi tanaman lebih tinggi dibandingkan dengan Blok Pasir Koja bagian atas. Menurut Srimulyaningsih & Suryadi (2018) bahwa pohon bambu yang rapat sering dimanfaatkan oleh MEP sebagai tempat berlindung dari panas dan hujan, serta dijadikan sebagai tempat istirahat juga bermain. MEP suka mengkonsumsi daun muda dari pohon bambu (Bambusa sp.) sehingga pohon bambu juga dapat dijadikan sebagai pohon pakan.

Monyet ekor panjang tergolong sering terlibat konflik dengan manusia. Berdasarkan informasi petugas dan masyarakat sekitar, kehadiran MEP mulai meresahkan kegiatan pertanian dan perkebunan masyarakat di Resort PTN Tapos. Satwa ini dianggap hama bagi penduduk di sekitar kawasan tersebut karena sering merusak hasil pertanian, seperti padi, jagung, benih karet dan pohon buah. Hal tersebut sejalan dengan sifat yang dimiliki oleh MEP, yaitu opportunistic omnivore yang berarti mengeksploitasi makanan yang tersedia di lingkungannya apabila ketersediaan pakan berkurang. Satwa ini dapat memakan tumbuhan dan buah hasil pertanian yang banyak ditemukan di tepi hutan (Musfaidah et al., 2019).

Gambar 3. Tagging Pohon Perjumpaan Mamalia
(Sumber: Dokumen pribadi, 2023)

Berdasarkan hasil pengamatan yang didapatkan dalam kawasan blok Pasir Koja Resort PTN Tapos Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP). Pada saat pengamatan didapatkan 13 individu tupai (Tupaia sp.) dengan titik perjumpaan yang berbeda, namun dominasi perjumpaan banyak ditemukan pada pohon bambu hal ini dikarenakan pohon bambu dapat menyediakan lingkungan yang cocok bagi tupai dengan memberikan perlindungan dari daun bambu yang lebat dan cabang yang rapat sehingga menjadi perlindungan bagi tupai dari cuaca buruk dan dari predator. Selain itu, pohon bambu dapat menghasilkan tunas, daun dan buah yang menjadi sumber makanan bagi tupai. Menurut Mustari et al., (2015) Tupai merupakan satwa arboreal yang memerlukan pepohonan sebagai tempat makan dan istirahat. Keberadaan tupai dalam ekosistem sangat penting antara lain sebagai sarana penyebaran biji tumbuh-tumbuhan, dan sebagai kontrol terhadap serangga. Tupai yang terdapat di kawasan Blok Pasir Koja perlu dilakukan pengelolaan secara lestari yang mengarah pada konservasi. Keberadaan jenis-jenis tupai di daerah tersebut sebagian besar pengelolaannya belum terdata. Oleh karena itu perlu dilakukannya inventarisasi untuk mendata tupai yang berada di blok Pasir Koja Kawasan Resort PTN Tapos Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP).

Persebaran tupai lebih banyak ditemukan pada Blok Pasir Koja jalur bawah dibandingkan dengan Blok Pasir Koja jalur atas, hal ini karena pada Blok Pasir Koja jalur bawah memiliki kerapatan vegetasi tanaman yang lebih tinggi sehingga habitat tersebut cocok untuk tupai dalam mencari makan dan memudahkan berpindah tempat dari satu pohon ke pohon lainnya. Kemudian pada beberapa individu juga ditemukan pada pohon pinus, pohon nangka, dan pohon hamerang. Tupai merupakan hewan yang rentan terhadap predator, seperti ular dan burung pemangsa. Pohon nangka yang tinggi dan besar dapat memberikan perlindungan yang baik bagi tupai dari predator. Tupai dapat dengan mudah memanjat dan berpindah dari satu cabang ke cabang lain di pohon nangka, sehingga sulit bagi predator untuk menangkapnya. Selain itu pohon nangka juga merupakan salah satu sumber makanan dari tupai. Berdasarkan perjumpaan pada saat pengamatan terdapat beberapa individu tupai yang berada di pohon pinus, hal ini karena pohon pinus menyediakan sumber makanan. Beberapa spesies tupai akan mencari biji-bijian, kacang- kacangan atau tunas muda yang ditemukan pada pohon pinus sebagai sumber makanan. Tak hanya itu, cabang-cabang dan ranting pohon pinus yang lebat dapat memberikan tempat yang baik untuk berlindung dari cuaca buruk dan predator (Nasir et al., 2017). Selain itu dijumpai pula tupai pada pohon hamerang, pohon ini memiliki ciri khas yang unik dan memberikan lingkungan yang baik untuk tupai dengan menyediakan sumber makanan seperti buah dan cabang-cabang yang lebat dan daun yang rapat sebagai tempat berlindung. Tupai adalah hewan yang aktif, dan pohon hamerang yang memiliki banyak cabang dan daun dapat memberikan ruang bagi tupai bermain, mencari makan dan beraktivitas secara keseluruhan (Gunawan et al., 2011).

Gambar 4. Temuan Bekas Pakan
(Sumber: Dokumen pribadi, 2023)

Lalu, ditemukan beberapa bekas pakan yang diduga berasal dari kelompok monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) yaitu buah nangka, buah pala, buah alpukat, dan buah pinus. Dari temuan ini dapat diketahui bahwa sumber pakan yang ada di Kawasan Blok Pasir Koja masih terbilang tinggi. Ketersediaan pakan yang cukup dapat mempengaruhi tingkat kesejahteraan satwa sehingga nantinya akan membantu kemampuan reproduksi yang baik dan ketahanan terhadap penyakit (Sugiyanto et al., 2017). Kemudian ditemukan juga kotoran atau feses dari musang yang masih terdapat biji dari buah sumber pakannya. Saluran cerna musang diketahui hanya mampu mencerna bagian kulit dan daging buah, sehingga bagian biji dari buah yang dikonsumsi akan dikeluarkan secara utuh dalam feses setelah melalui reaksi fermentasi oleh enzim pada saluran pencernaannya (Dany et al., 2018).

Gambar 5. Feses Musang
(Sumber: Dokumen pribadi, 2023)

Berdasarkan hasil pengamatan dapat disimpulkan bahwa pada Blok Pasir Koja Kawasan Resort PTN Tapos Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) memiliki berbagai ekosistem yang terdapat di dalamnya menyediakan habitat dan sumber pakan bagi keanekaragaman satwa. Melihat masih terdapatnya satwa terutama mamalia seperti keberadaan monyet ekor panjang, tupai, dan musang di dalam kawasan yang telah diamati, ini membuktikan bahwa habitat dan sumber pakan dalam kawasan TNGGP masih relatif baik. Sehingga masih diperlukannya pengelolaan dan upaya konservasi pada kawasan tersebut, guna melestarikan keberadaan satwa-satwa dan vegetasi sebagai habitatnya di dalam Kawasan TNGGP terutama pada Kawasan Blok Pasir Koja.

Gambar 6. Foto Bersama
(Sumber: Dokumen pribadi, 2023)

Penulis: 
Adisti Rahmat Priadi (KPP Angkatan X), Eka Sri Wahyuni (KPP Angkatan X), Fathya Rizky Amelia (KPP Angkatan X), Nabilah Nailiyah Isna (KPP Angkatan X), Wafa Arsita (KPP Angkatan X), Wulan Putri Dina Lestari (KPP Angkatan X).

DAFTAR PUSTAKA

Dany, A., Helen, T., & Warsono, E. K. (2018). Review: Peran Enzim dalam Meningkatkan Kualitas Kopi. Jurnal Agri-Tek: Jurnal Penelitian Ilmu-Ilmu Eksakta, 19(2), 86−91.

Fachrul, M. (2012). Metode sampling bioekologi. Jakarta: PT Bumi Aksara.

Fauzi, M.A., Hamidy, A., & Kurniawan, N. (2020). Harvesting trends of amboina box turtles (Cuora amboinensis) seventeen years after listing in Appendix II CITES. Biodiversitas, 21(3), 1142-1148.

Gunawan, W., et al. (2011). Analisis Komposisi dan Struktur Vegetasi Terhadap Upaya Resortasi Kawasan Hutan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Jurnal Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, 1(2), 93-105.

Hambali, A. & Jakiatin, N. (2018). Pemanfaatan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango Sebagai Sumber Belajar Geografi SMA Negeri di Kabupaten Cianjur. Jakarta: Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

Hidayat, M., et al. (2017). Analisis Vegetasi Tumbuhan Menggunakan Metode Transek Garis (Line Transect) di Hutan Seulawah Agam Desa Pulo Kemukiman Lamteuba Kabupaten Aceh Besar. Banda Aceh: UIN Ar-Raniry Banda Aceh Press.

Kartono, A. P., Prastyono, & Maryanto. (2002). Variasi Aktivitas Harian Hylobates Moloch (Audebert, 1798) Menurut Kelas Umur Di Taman Nasional Gunung Halimun, Jawa Barat. Jurnal Berita Biologi, 6.

Musfaidah, R., Nugroho, A. S., & Dzakiy, M. A. (2019). Karakteristik Vegetasi Pakan Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) Pada Daerah Jelajah Di Kelurahan Kandri Kecamatan Gunungpati. Seminar Nasional Edusaintek FMIPA UNIMUS, 382-389.

Mustari, A. H., et al. (2015). Kelimpahan Jenis Mamalia Menggunakan Kamera Jebakan di Resort Gunung Botol Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Media Konservasi, 20(2), 93-101.

Nasir, M., Amira, Y., & Mahmud, A. H. (2017). Keanekaragaman Jenis Mamalia Kecil (Famili Muridae) pada Tiga Habitat yang Berbeda di Lhokseumawe Provinsi Aceh. BioLeuser, 1(1), 1-6

Nasution, E. K., & Rukayah, S. (2018). Daily activities oflong tail monkeys (Macaca fascicularis Raffles) in Cikakak Tourist Resort Wangon Banyumas (a Conservation Effort). The SEA+ Conference on Biodiversity and Biotechnology, 1–5.

Ruppert, N., Holzner, A., Wei See, K., Gisbrecht, A., & Beck, A. (2018). Activity budgets and habitat use of wild southern pig-tailed macaques (Macaca nemestrina) in oil palm plantation and forest. International Journal of Primatology, 39, 237–251.

Schmidt, F. H., & Ferguson, J. H. A. (1951). Rainfall types based on wet and dry period rations for Indonesia with Western New Guinea. Jakarta: Kementrian Perhubungan Meteorologi dan Geofisika.

Srimulyaningsih, R., & Suryadi, L. D. S. (2018). Pola pergerakan Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) di Cagar Budaya Ciung Wanara. Wanamukti, 21(2), 83–96.

Sugiyanto, E. E., et al. (2017) Ketersediaan Pakan Gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus Temminck, 1847) di Resort Air Hitam Taman Nasional Tesso Nilo Kabupaten Pelalawan Provinsi Riau. Jurnal Hutan Lestari, 5(1), 147-155.