Gambar 1. Tarsius tarsier
(Sumber: Anggraeni, Vita ayu)

Tarsius (Tarsius Bancanus) merupakan primata nokturnal pemakan serangga dengan ukuran terkecil di dunia. Nama ”tarsius” berasal dari bentuk morfologi tubuhnya pada bagian kakinya yang memiliki bentuk istimewa, yaitu pada tulang tarsalnya memanjang membentuk pergelangan kaki, hal tersebut membuat tarsius dapat melompat sejauh hampir 10 kaki dari dahan pohon yang satu ke yang lainnya. Tarsius memiliki karakteristik morfologi yang sangat unik, panjang tubuhnya hanya sekitar 10-15 cm, umumnya memiliki bobot tubuh sekitar 80 gram, sedangkan untuk tarsius dewasa berbobot 104-150 gram. Tubuh tarsius berbentuk bulat, dan dilapisi oleh banyak rambut yang lembut berwarna abu-abu terang atau gelap bercampur dengan kuning keemasan. Ia memiliki mata bulat besar yang berukuran sebanding atau seukuran dengan besar otaknya, matanya bergerak menyamping. Memiliki dua pasang kaki yang panjang, dan pada kaki belakangnya memiliki ukuran lebih panjang dari kaki kedannya, yaitu berukuran hampir dua kali ukuran panjang badannya, kakinya yang panjang ini digunakan untuk melompat tinggi hingga 2 meter. Ekor tarsius berbentuk ramping dengan panjang 20-25 cm, serta tidak berambut kecuali pada ujungnya. Lalu pada jari-jarinya memanjang, dengan jari ketiga kira-kira sama panjang dengan lengan atas. Di ujung jari terdapat kuku namun pada jari kedua dan ketiga dari kaki belakang berupa cakar yang dipakai untuk grooming dan menggaruk tubuh. Rambut Tarsius umumnya berwarna cokelat abu-abu, cokelat muda atau kuning-jingga muda (Niemitz, 1985).

Beberapa dari spesies tarsius merupakan satwa endemik yang habitatnya tersebar dan dapat ditemukan di beberapa pulau di Indonesia seperti di Sulawesi, Kalimantan dan Sumatera, juga di Filipina (Sussman, 1999). Genus tarsius dari tiap spesiesnya tersebar secara endemik mulai dari ujung sebelah utara Sulawesi di Kepulauan Sangihe hingga di ujung selatan Sulawesi di bagian Kepulauan Selayar. Penduduk lokal biasa menyebutnya dengan berbagai nama seperti tangkasi, monyet kecil, dan kera hantu. Sementara di dunia internasional mengenalnya dengan sebutan Tarsius sp. Genus ini berasal dari famili Tarsiidae, yaitau satu-satunya famili yang bertahan dari ordo Tarsiiformes. Tarsius merupakan termasuk hewan karnivora pemakan segala jenis serangga seperti belalang, jengkerik, kecoa, juga cicak, mencit, dan burung kecil. Dalam mencari makanan, tarsius akan mengeluarkan suara cicitan rumit dengan berbagai nada. Suara cicitan ini digunakan sebagai indikator informasi kepada tarsius yang lain ataupun untuk tidak memasuki wilayahnya.

Dalam hal pasangan, Tarsius dapat dikatakan sebagai hewan yang setia, primata ini hidup secara monogami (satu pasangan seumur hidup), dan pasangan tarsius akan membentuk kelompok kecil dengan anak-anaknya dan bersarang di dalam rongga pohon (Sussman, 1999). Tarsius bereproduksi dengan jumlah kelahiran 2 kali dalam setahun dengan masa gestasi sekitar 6 bulan, dan fase kelahiran juga terjadi sama seperti masa reproduksi. Tarsius betina melahirkan satu tarsius dalam sekali proses melahirkan, tarsius yang lahir sepenuhnya berbulu dengan mata terbuka. Bayi yang baru lahir bersifat precocial, yaitu sudah dapat mencari makanannya sendiri dan mampu memanjat setelah usia satu hari setelah dilahirkan.

Tarsius merupakan primata yang hidup berkelompok dan tinggal bersama dalam satu sarang yang biasa disebut dengan pohon tidur tarsius. Dalam satu pohon tidur tarsius biasanya dapat menampung 2-6 ekor tarsius. Tarsius memiliki sifat krepuskular (aktif pada saat senja ataupun situasi remang-remang) dan nokturnal yang sangat aktif pada malam hari. Sehingga pada petang hari tarsius akan keluar dari sarangnya untuk mencari makan dan kembali lagi saat matahari terbit. Melalui penelitian yang dilakukan oleh Gursky, diketahui bahwa sarang tarsius tidak mendapat gangguan oleh predator, dan manusia, kelompok tarsius bisa mendiami sarang tersebut hingga lebih dari 5 tahun.

Tarsius menjadi hewan yang dilindungi berdasarkan yang tercantum dalam Undang- Undang No. 5/1990 dan Peraturan Pemerintah No. 7/1999. Menurut IUCN (2008), tarsius dalam Red Data Book IUCN (International Union for Conservation of Nature and Natural Resources) termasuk dalam kategori vulnerable (rentan). Semakin menurunnya populasi tarsius dikarenakan tarsius banyak diburu karena memiliki keunikan mulai dari morfologi hingga tingkah lakunya seperti matanya yang besar dan kaki panjang sehingga mampu melompat tinggi hingga lebih dari 40 kali panjang tubuhnya. Selain itu tarsius juga biasa dikonsumsi oleh masyarakat, lalu perburuan, degradasi habitat akibat pola perladangan berpindah atau fragmentasi habitat akibat pembangunan, eksplorasi bahan tambang dan pembalakan kayu, juga menjadi ancaman yang serius bagi kelestarian tarsius. Oleh sebab itu, mari kita terus menjaga dan melestarikan semua primata khususnya pada pada semua spesies tarsius ini dari kepunahan dengan tidak memburunya dan tetap menjaga habitat aslinya, agar terhindar dari kepunahan dan keseimbangan ekosistem dapat selalu terjaga.


Penulis
Debby Wardaniah (Angkatan X)


DAFTAR PUSTAKA
 

Mansyur, Fadhilah Iqra, Abdul Haris Mustari, dan Lilik Budi Prasetyo. 2016. Karakteristik Habitat Tarsius (Tarsius Sp.) Berdasarkan Sarang Tidur di Hutan Lambusango Pulau Buton Provinsi Sulawesi Tenggara. Media Konservasi. 21 (2), 135-136.

Niemitz, C. (1984). Macdonald, D., ed. The Encyclopedia of Mammals. New York: Facts on File. pp. 338–339. ISBN 0-87196-871-1.

SUSSMAN, R.B. 1999. Primate Ecology and Social Stucture. Vol. I.: Lorises. Lemursand Tarsiers. Department of Anthropology Washington University.

Urulamo, Jemi, dkk. 2014. Deskripsi Tingkah Laku Tangkasi (Tarsius Spectrum) Saat Memasuki Di Lubang Sarang Pohon di Cagar Alam Tangkoko. Jurnal Zootek. 34 (2), 160- 161.