Gambar 1. Keragaman Jenis Kukang di Indonesia a. Nyticebus coucang; b. Nyticebus javanicus; c. Nyticebus menagensis

(Sumber: Jatna & Rizky, 2016)

Kukang merupakan primata prosimian, yang masuk subsuku Prosomii, yang artinya primata primitif, bila dibandingkan dengan spesies primata lain. Hal ini dikarenakan terdapat ciri-ciri anatomi kukang yang ditemukan pada mamalia, namun tidak dimiliki oleh spesies primata lainnya. Misalnya tapetum, lapisan retina mata yang merupakan lapisan yang bergerak dengan refleks bila terkena sinar, ciri khas satwa yang aktif pada malam hari. Ciri ini ditemui pada kucing dan anjing atau mamalia yang aktif pada malam harinya.

Kukang adalah satu-satunya primata yang mempunyai gigi depan atau "tooth comb" yang air liurnya berbisa sangat ringan. Hidupnya arboreal atau aktivitas harian selalu ada di pohon dan aktif pada malam hari. Makanan kukang adalah serangga dan berbagai spesies reptilia kecil (Jatna & Rizky, 2016)

     Kukang memiliki cakar panjang dan kuat yang memungkinkannya untuk berpegangan erat pada dahan pohon. Kukang terkenal dengan gerakannya yang lambat dan terkesan malas. Kukang memiliki kelenjar bisa di lengannya. Saat merasa terancam, kukang akan mencampurkan bisa ini dengan air liur dan menggosokkannya ke lengannya. Kukang juga memiliki organ "sublingual" khusus, yang merupakan lidah kedua yang digunakan untuk menghilangkan rambut dan kotoran dari sisir gigi mereka.

BISA KUKANG

Sejauh ini hanya tiga spesies yang telah diuji bisanya (N. bengalensis, N. coucang dan N. pygmaeus) tetapi pengamatan menunjukkan bahwa spesies lain sama-sama berbisa. Alat penyalur bisa atau Venom Delivery Aparatus (VDA) terdiri dari kelenjar brakialis yang terletak di daerah yang relatif bebas rambut, sedikit terangkat di daerah fleksor lengan atas (Hagey et al., 2007), dan sisir gigi seperti jarum, kompresi gigi anterior rahang yang terdiri dari gigi taring dan gigi seri.

Gambar 2. Kukang jawa Nycticebus javanicus menunjukkan warna peringatan wajah (a); Kukang jawa menampilkan posisi bertahan (b); kelenjar brakialis seperti yang ditunjukkan oleh panah (c); sisir gigi seperti yang ditunjukkan oleh panah (d); Ilustrasi: Kathleen Reinhardt.

(Rode-Margono & Nekaris, 2015) 

Ketika terancam, kukang dapat "mengisi" VDA-nya dengan mengangkat lengannya di atas kepala untuk menggabungkan eksudat kelenjar brakialis (Brachial Gland Exudate) dengan air liur. Sisir gigi yang kuat dan tajam memungkinkan bisa untuk bergerak ke ujung atas gigi oleh kekuatan kapiler (Alterman et al., 2013). Pada umumnya luka yang ditimbulkan dari gigitan kukang sangat menyakitkan, penyembuhan lambat, dapat menyebabkan pembengkakan, kehilangan perasaan lokal, bernanah, dan meninggalkan jaringan parut dan hilangnya bulu. Reaksi pada manusia berkisar dari efek kecil hingga syok anafilaksis berat, termasuk hipotensi, takikardia, sakit punggung, perfusi organ yang buruk dan penutupan perifer yang bahkan dapat menyebabkan kematian (Madani & Nekaris, 2014).

Bisa kukang terdiri dari protein memiliki kesamaan urutan tinggi dengan alergen kucing Fel-d1 yakni protein heterodimer dengan 17,6 kDa ini memiliki rantai α dan rantai β yang memiliki kesamaan urutan tinggi dengan dua rantai Fel-d1. Peneliti juga menemukan BGE adalah minyak yang unik dan kompleks dan mengandung lebih dari 68 (N. bengalensis) dan 200 (N. pygmaeus) komponen volatil dan semi-volatil (Hagey et al., (2007); Kranee et al., (2003)).

FUNGSI BISA

Kukang akan mengeluarkan bisa ketika ia merasa terancam. Meskipun bisa ini dapat melukai predator dan membunuh hewan kecil, namun kukang cenderung menggunakannya untuk spesiesnya sendiri. Kukang jantan akan menggunakan bisanya untuk memperebutkan betina sedangkan kukang betina menggunakannya untuk melindungi anak-anaknya. Selain itu bisa juga digunakan untuk mempertahankan wilayah teritorinya dan membersihkan diri dari ektoparasit.

Bisa kukang juga dapat digunakan sebagai tindakan preventif dalam melindungi bayi mereka dari pemangsa. Sebelum menaruh bayi mereka di pohon dan pergi mencari makan, para induk kukang menjilati kelenjar brakialis mereka sambil merawat anak-anaknya sehingga bisanya ditransfer ke bulu bayi.

Jadi gimana nih sobat tersier? Baru tau kan kukang itu berbisa, selain keunikan tadi kukang memiliki penampilan yang menggemaskan dan gerakannya yang lambat sehingga mereka menjadi sasaran populer untuk berburu dan dijadikan hewan peliharaan, namun banyak orang yang tidak memahami sifat hewan lucu satu ini, oleh karena itu populasi kukang semakin terancam.

 Yuk, sobat tarsier, kita jadi agen perubahan! Dengan tidak membeli atau memelihara kukang, kita ikut berkontribusi terhadap upaya pelestarian satwa langka tersebut, edukasi kan kepada orang lain tentang pentingnya melindungi kukang. Bersama-sama, kita bisa membuat perbedaan. Mari kita lindungi kukang, satwa endemik Indonesia!

Penulis: Khazimah Wardah (KPP X), Fathya Rizky Amelia (KPP X), Siti Aisyah (KPP X), Garda Ibnu Pratama (KPP XI), Ardelia Azhari (KPP XI), Sabila Wardhani (KPP XI)


DAFTAR PUSTAKA

Alterman, L., Doyle, G. A., & Izard, M. K. (Eds.). (2013). Creatures of the Dark. Springer Science & Business Media.

Hagey, L. R., Fry, B. G., Fitch-Snyder, H., Gursky, S. L., & Nekaris, K. A. I. (2007). Primate anti-predator strategies. Talking defensively: a dual use for the brachial gland exudate of slow and pygmy lorises.

Jatna Suprianta & Rizki Ramadhan. (2016). Primata Indonesia. Buku. Yayasan Pustaka Obor Indonesia Anggota IKAPI DKI Jakarta. Jakarta.

Krane, S., Itagaki, Y., Nakanishi, K., & Weldon, P. J. (2003). " Venom" of the slow loris: sequence similarity of prosimian skin gland protein and Fel d 1 cat allergen. Naturwissenschaften, 90, 60-62.

Madani, G., & Nekaris, K. (2014). Anaphylactic shock following the bite of a wild Kayan slow loris (Nycticebus kayan): implications for slow loris conservation. Journal of venomous animals and toxins including tropical diseases, 20, 02-05.

Rode-Margono, J. E., & Nekaris, K. A. I. (2015). Cabinet of curiosities: venom systems and their ecological function in mammals, with a focus on primates. Toxins, 7(7), 2639-2658.